Pukul 7 Malam

Maaan, berhubung saya sedang kering ide buat bayar utang-utang nulis yang numpuk, saya tulis ulang cerpen saya yang pernah dipakai untuk malam narasi/ malam tantangan OWOP (?), lupa.  Berhubung waktu itu gak dijadiin setoran nulis blog, ya udah saya masukin aja deh, ya. Piss

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
          Aku berjalan mendekat ke arah mejanya untuk menyerahkan dokumen.  Sudah setahun lebih aku bekerja dengannya, namun masih saja aku tidak dapat mengendalikan debaran jantungku.

          "Surat untuk Anda dari Phobos Electronic Thailand, Mr.Pameera Lamthot." Aku membacakan nama pengirim yang tertera pada amlop berukuran kertas A4 tersebut.

          "Terima kasih.  Letakkan di situ." perintahnya, tanpa menatapku.  Aku meletakkan dokumen tersebut dengan tergesa, nyaris melemparnya karena terlalu grogi.  Aku sudah tidak sanggup mengingat, apalagi mempraktikkan video tentang 'Gaya Paling Imut Saat Menyerahkan Surat ke Atasan yang Kamu Sukai', yang kupelajari dari Youtube.
         
          Setelah aku memastikan bahwa setidaknya aku tidak melemparkan amplop itu ke wajahnya, aku segera berbalik, kembali ke meja kerjaku, kemudian kembali terhanyut pada timbunan email yang harus kubalas.

          Setelah selesai dengan email, aku mencatat jadwalku besok, lalu merekap semua pekerjaan yang masih tersisa.  Ah, ya.  Aku masih punya setumpuk kertas yang harus kuterjemahkan.  Tepat ketika otakku baru saja mulai berkonsentrasi menerjemahkan tulisan keriting ke dalam bahasa Indonesia, sebuah suara berat memanggilku, membuatku terkesiap.

         "Rifa-san, nanti pukul 7 malam, ya. Jangan lupa, biasa," katanya.  Aku mengangguk.  Meskipun aku berada tepat di bawah AC ruangan, namun aku dapat merasakan sengatan panas yang menjalar di pipiku saat ia mendekatiku.  Aku sudah paham apa maksudnya, saat mendengar ia berkata 'biasa'.

         "Kenapa, Fa, senyam senyum sendiri. Gue gak senang liat muka lo gitu" Ira yang baru saja keluar dari meeting dengan supplier, melirik sinis ke arahku yang sedang bersenandung kecil.  Aku hanya mengangkat bahu, dan memberikan senyuman yang lebih lebar padanya, membuatnya semakin jengkel.

        Akhirnya, kuhabiskan sisa waktu kerjaku dengan tumpukan kertas-kertas dokumen bertuliskan huruf kanji itu.

        Malam pun tiba.  Aku membereskan mejaku, dan mematikan komputer.  Atasanku yang tampan dan bertubuh tegap itu perlahan mendekati mejaku, kemudian dengan setengah berbisik ia berkata,

        "Kita lakukan di sana," katanya, menunjuk sebuah ruangan kosong dan gelap.  Aku hanya bisa mengangguk lemah, mengikuti semua kemauannya.
      Dan saat kami tengah berjalan menuju ruang tersebut, ia mulai mengajakku berbicara dengan bahasa Jepangnya.

      "Ruang meeting dua sedang dipakai Abe, jadi kita pakai ini saja.  Kali ini kita akan membahas tentang pengiriman material yang terancam datang terlambat, dengan lokal staf termasuk Nanda!  Dia belum cek balance sheet!! Saya stress, saya nanti akan marah di meeting, kamu siap menerjemahkan saya?" Ia membulatkan mata indahnya.

       Siap oom!  Saya bahagia saat melihat wajah marah Anda yang begitu dibenci oleh para bawahan Anda.  Saya selalu menantikan suara menggelegar yang selalu disindir oleh semua staf yang bekerja di ruangan yang sama dengan kita.

      Dia masuk ke ruangan gelap itu, kemudian menyalakan lampu.  Aku duduk dengan tergesa di sebelahnya, tersenyum gugup dengan para staf lokal yang beberapa saat kemudian datang bergerombol.

      Aku melirik jam dinding.
      Pukul 7 malam.
      Ya, aku selalu menantikan meeting Kamis malam ini.
       

Komentar

Postingan Populer