(Cerpen BSH) Hadiah Pelangkah dari Allah
Assalamu'alaikum.
Selesai juga cerpen BSH ke-dua. Masih punya hutang satu lagi, nih =_____=
Selamat membaca!
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dapat undangan lagi dari teman
kerja. Aku hendak menyembunyikan
undangan cantik itu di balik dokumen-dokumen yang sedang kubawa, setelah
menerimanya dari Mbak Femi, tapi gerakan tanganku kalah cepat dibanding dengan
kecepatan gerakan pupil mata orang-orang bermulut usil yang selalu ingin tahu
urusan orang.
“Dapet undangan mulu,
ngundang-ngundangnya kapan?” Deg. Sudah kuduga.
Pasti kalimat seperti itu akan meluncur dengan ringan dari salah satu orang
yang berpapasan denganku di koridor pabrik, saat memergoki undangan pernikahan di tanganku ini.
Aku menatap galak mas-mas sok akrab
yang bahkan tidak kuketahui namanya itu.
Mas-mas itu seketika diam dan nyengir.
Aku kemudian beralih menatap sengit undangan berwarna ungu yang mendekam
pasrah dalam genggaman tanganku yang kelewat kencang.
Ya
Allah, aku tahu aku harus bersabar untuk menjemput pasangan hidupku, aku pun
menyadari bahwa akan ada waktu yang tepat yang sudah dipersiapkan untukku, tapi
paling tidak, hamba mohon lakban mulut
orang-orang yang ada di sekelilingku, rintihku teraniaya.
Pikiranku melayang pada obrolanku
dan ibuku kemarin malam,
“Lah, udah Maret aja ya, cepat banget, sebentar lagi kamu
ulang tahun dong? Eh, Ifa berarti dua puluh enam ya tahun ini? Semoga cepat ada yang melamar, ya” aku hanya
mengaminkan ucapannya, lalu segera mengalihkan pembicaraan.
Ya, tahun ini aku akan berumur dua
puluh enam tahun. Aku merasa sepertinya
belasan tahun sebelum ini, belum terlalu banyak orang yang galau masalah jodoh,
tapi di pertengahan tahun 2015 ini aku jamin ada jutaan jomblo di luar sana
yang sedang galau soal pernikahan, belum lagi yang terang-terangan curhat di
sosial media atau blog. Ah, atau mungkin
karena belasan tahun sebelumnya aku terlalu dini untuk menyadari jeritan jutaan
jomblo yang mencari pasangan hidup sahnya?
Saat aku memikirkannya, saat itulah aku menyadari bahwa: INI ADALAH USIA
RENTAN!
Tahu, kan, gimana rasanya ditinggal
nikah oleh teman-teman kalian? Ya, satu
per satu sahabat-sahabat kuliah meninggalkanku , pergi ke pelukan pria-pria
itu. Hanya ada beberapa diantara kami
yang masih ditakdirkan jomblo, yang kemudian menasbihkan diri sebagai “Barisan
Sakit Hati”. Entah kapan Barisan Sakit
Hati ini bubar, semoga aku bukan anggota terakhir yang tersisa.
###
Aku
perlahan membuka mataku, kemudian mematikan alarm
ponsel. Mimpi lagi. Mimpi soal
pernikahan lagi!! Apa-apaan sih
aku. Segalau itukah aku sampai masalah
pernikahan menerorku hingga ke mimpi?
Sebulan sebelumnya aku bermimpi mengambil contoh surat undangan pernikahan dari sebuah
percetakan di kawasan dekat rumahku, meskipun aku tidak tahu dengan siapa aku
menikah.
Lalu,
semalam aku bermimpi pergi sendirian ke sebuah gedung yang sedang dipakai oleh
pasangan yang sedang melaksanakan resepsi pernikahan. Aku melihat mereka sedang berfoto mesra
berdua. Entah siapa mereka. Dan aku pulang begitu saja setelah
melihat-lihat sekeliling gedung itu.
Esok harinya, aku kembali berada di salah satu aula gedung. Namun, gedungnya berbeda, dan yang kedua kalinya itu aku tidak sendirian, karena aku keluar dari aula gedung itu bersama seorang pria dengan baju putih berhias hijau toska, kulit yang putih bersih, serta memiliki tinggi badan yang cukup menjulang. Sayang sekali aku tak jelas melihat rupa wajahnya seperti apa. Aku hanya melihat punggungnya yang menyangganya tegap. Ia setengah berlari di depanku, sembari menggandengku. Suamiku? Entahlah. Maunya sih percaya isi mimpi itu. Tapi.., itu tidak mungkin pertanda, karena aku kan jarang solat malam!
Eh, iya juga. Aku baru sadar bahwa akhir-akhir ini aku
hampir tidak pernah tahajud. Kalau
seseorang hendak meminta sesuatu, tentunya orang tersebut seharusnya lebih
mendekatkan diri pada yang Maha Memiliki.
Bagaimana mungkin Allah sudi memberikan aku pendamping yang baik, soleh,
dan setampan Ken Hirai, kalau solat malam pun jarang.
Ponselku
bergetar. Sebuah notifikasi whatsapp masuk.
“Siapa
sih pagi buta begini nge-watsap” aku menguap lebar, mengucek mata, lalu membuka
ponsel itu.
Assalamu’alaikum, Ifa, Sabtu depan ketemuan
yuk, bisa gak? Kakak mau minta tolong.
Oh.
Seniorku yang juga sahabat dekatku.
Wa’alaikumsalam. Minta tolong apa, kak?, aku
mengetik cepat pada layar ponselku.
Gini…Insya Allah kakak kan mau menikah tiga bulan
lagi…, belum selesai kubaca pesan darinya, aku sudah menjatuhkan ponselku,
dengan tatapan kosong.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak!”
Sebuah jeritan menyayat hati yang
sepertinya terdengar sampai radius beberapa kilometer di subuh yang tenang ini,
membangunkan manusia-manusia malas yang masih bergumul dengan selimut tebalnya.
“IFAAAA!!
SUBUH-SUBUH GINI JEJERITAN BUKANNYA SOLAT!”teriak mama.
Ya. Jeritan piluku, ditinggal nikah lagi.
###
“Jadi
gitu ceritanya, Fa. Rencananya Insya Allah tanggal 6 Juni kita ngadainnya!” aku
menyeruput es cendolku, sambil menatap datar wajah Kak Cici yang sedang bercerita
dengan antusias.
“Fa, minta tolong, cariin gedung
buat Kakak, dong” lanjutnya.
“Ya
ampun, Kak, mepet banget, mana ada gedung yang bisa di-booking kalau resepsinya
tinggal dua bulan lagi, musim nikahan nih!”
“Kakak
minta tolong banget, yang penting gedungnya lumayan bisa nampung lima ratus
orang deh, kakak bulan ini bakalan sibuk banget Fa, ke Bandung buat bimbingan tesis,
sama acara partai di Palembang, ya, ya? Mas Lutfi juga sibuk urus ini itu. Nanti insya Allah dikasih hadiah deh”
“Apaan?
Hadiah pelangkah cincin perak yang waktu itu aku pengen? Boleh. Deal.” kataku
mengajaknya bersalaman. Kak Cici tertawa
geli.
“Pelangkah
! Ahaha…Ifa, Ifa, pelangkah, mah, buat orang yang lebih tua, Neng.” Ya, aku memang lebih muda, tapi pokoknya kak Cici
harus tetap memberiku hadiah pelangkah, biar sakit hatiku berkurang.
“Lebih
dari itu, Fa.” Matanya membulat.
“Wow,
apaan tuh jadi penasaran” Aku mulai
tertarik.
“Hadiahnya
jodoh dari Allah. ” Aku mencibir.
“Eh,
beneran Fa. Insya Allah kamu enteng jodoh kalau bantuin nikahan sodara”
Kakak
seniorku yang satu ini memang kegiatannya seabrek banget sih. Hidup tuh yah yang wajar-wajar aja gitu loh
sibuknya. Aktif di partai juga,
pengajian juga, aktif di forum penulis juga.
Aku juga kan yang jadi ketiban susahnya. Yah, tapi kan kak Cici adalah
seniorku yang sangat berjasa dalam membimbing aku yang tersesat ini ke jalan
yang lurus dengan mengajakku ikut pengajiannya, meskipun kadang kala aku masih
juga menyimpang. Apalagi katanya kalau
membantu orang menikah akan dipermudah oleh Allah untuk masalah jodohnya. Eh, bener gak sih itu? Yah, pokoknya
begitulah. Intinya aku orang baik yang
tidak tegaan.
“Iya deh, iyaa” kataku cemberut.
“Alhamdulillah,
punya adik baik hati”
Aku mulai menerawang, memikirkan
gedung daerah mana yang sekiranya masih bisa direservasi.
###
Semenjak
diminta tolong untuk mencari gedung pernikahan kak Cici, aku jadi sering browsing di internet. Ada satu gedung yang menjadi
incaranku, tapi saat kutanya kemarin, rupanya pada tanggal tersebut gedung itu sudah
di-booking, baik pagi, siang maupun
malamnya. Huh, tuh kan. Kubilang juga apa! Pasti susah banget cari
gedungnya kalo acaranya pada tanggal segitu.
“Ifa,
minta tolong ke rumah Om Agus dong, antar kue nih” perintah ibu tiba-tiba di
hari liburku yang indah.
“Oh…,
ya udah sinih, manah?” Dengan agak ogah-ogahan aku menghampiri ibuku.
“Jangan manyun gitu kalo disuruh, dong.
Kalau memudahkan urusan orang lain kan nanti insya Allah urusannya juga dipermudah,
termasuk jodohnya.”
“Oh, baik, Ibunda! Aku gak manyun,
kok. Aku bahagia!” Dengan ceria aku segera mengucapkan salam pada ibuku,
kemudian keluar rumah membawa toples-toples kue itu.
Akhirnya aku menumpang angkutan
umum menuju rumah om-ku yang tidak begitu jauh dari rumahku.
“STOP
BANG! STOOOP!”
“Berisik
banget sih, Mbak!” gerutu abang angkutan umum yang kutumpangi, merasa terganggu
dengan suara cemprengku.
“Abisnya,
Abangnya gak denger daritadi saya bilang ‘kiri’!” Aku langsung turun dari mobil
angkot tersebut, menyerahkan beberapa lembar uang ribuan, lalu segera ngacir.
Aku
berjalan menyusuri jalan beraspal
komplek perumahan tempat tinggal pamanku. Celingak-celinguk melihat komplek perumahan
orang-orang kaya yang sangat sepi ini.
Aku tidak habis pikir dengan pamanku itu. Bukannya dia yang datang ke
rumahku, malah dia tega menyuruh secara tak langsung keponakannya yang manis,
cantik serta masih perawan ini berjalan sendirian berjalan menyusuri komplek
perumahannya yang sangat sepi ini.
Saat aku masih celingak-celinguk
waspada, aku menemukan sebuah masjid cantik, sekitar tiga ratus meter sebelum
sampai di rumah pamanku.
Wah,
bisa nih, buat gedung walimahnya kak Cici, cakep banget pula, pikirku. Karena penasaran aku memasuki area masjid tersebut, lalu menemui salah
satu pengurus masjidnya.
“Pak, ini tanggal 6 Juni udah
dibooking belum ya buat nikah, atau ada
acara apa gitu?”
“Belum ada sih, Mbak”
“Oh, bagus! Minggu depan saya balik ke sini, ya, mau
kasih DP. Buat acara akad sekaligus
resepsi. Bisa kan ya, untuk tanggal 6 Juni nanti. Hari ini saya bilang dulu ke sodara saya,
kalau dia setuju, minggu depan akan saya DP”
“Oh ya masih bisa, Mbak” Bapak ini
kembali mengangguk ramah.
“Oke deh…” Aku manggut-manggut.
“Oh ya, kalau gitu nanti saya akan
konfirmasi dulu, mungkin besok saya akan kembali, tapi yang penting tanggal 6
Juni belum ada booking, ya?” Terdengar suara berat pria membicarakan konten
yang sama dengan seorang bapak-bapak yang sepertinya juga seorang pengurus
masjid.
“Iya, sih, Pak, setau saya begitu”
jawab si bapak berkaus belang-belang dengan suara dan ekspresi yang datar.
“Eh, bentar, Mas. Maaf, tapi saya udah booking tanggal segitu,
minggu depan saya DP. Pak, Pak, saya udah minta sama bapak yang ini, minggu depan saya akan DP.” sambarku cepat, menyela obrolan kedua orang itu. Aku sudah pusing mencari-cari gedung lagi.
“Eh?Oh..gitu…?”Mas-mas pengunjung itu agak terkejut saat melihatku nekat menyela obrolan mereka. Ia kemudian tampak
berpikir. Aku mengamatinya. Seorang lelaki yang manis, berahang tegas,
memiliki kulit yang bersih, namun sayang, sebentar lagi akan menikah. Astaghfirullahal’adzim! Ifa, hentikan!,
Aku segera memalingkan wajah.
“Oke deh, Mbak…” Aku tersenyum, mengangguk cepat. Maaf
ya, Mas. Selamat mencari gedung lain~! Sampaikan
salam saya untuk pasangan Anda.
Setelah aku tanya jawab mengenai
harga dan fasilitas yang akan disediakan pihak masjid, aku segera keluar dari
area masjid, kemudian melanjutkan perjalanan menuju rumah pamanku. Aku segera menginformasikan pada kak Cici
perihal masjid barusan melalui aplikasi chat yang biasa kupakai.
Beberapa menit kemudian, ia
menjawab ‘OK, itu aja kayaknya, terima kasih, Cantik’.
###
“Guys, ini undangan dari Kak Cici. Dia nitip pas ketemu kemarin” Aku
membagikan undangan pernikahan Kak Cici kepada kedua sahabatku. Ema dan Azka.
Kemudian Ema mengeluh bahwa undangan dari Kak Cici merupakan undangan
ke-empat yang diterima bulan ini, sementara Azka mengeluh bahwa undangan itu
merupakan undangan ke-sepuluh yang ia terima.
Tragis. Meskipun tidak setragis
aku yang mendapatkan sebelas undangan di bulan ini.
Lalu, obrolan kami diisi dengan
obrolan kekanakkan yang tidak begitu berguna.
Ah, ya, ada pengumuman penting di tengah candaan-candaan tidak berguna
itu.
Ema jatuh cinta. Ya!
Ema jatuh cinta! Aku rasa kami harus melakukan acara selametan tujuh
hari tujuh malam karena akhirnya temanku yang super cuek itu bisa jatuh
cinta. Eh, ini sebenarnya bukan pertama
kalinya dia jatuh cinta sih. Sebelumnya,
saat kami masih kuliah, dia juga pernah jatuh cinta dengan seorang pria yang
kuliah di jurusan berbeda, dan akhirnya orang tersebut kami juluki ‘Ahong’
karena sang gebetan memiliki mata sipit.
Tapi, mungkin, ketimbang disebut jatuh cinta secara normal, Ema lebih
terlihat seperti takut ditagih hutang.
Bagaimana tidak? Setiap si Ahong lewat, si Ema langsung kabur, dan hanya berani melihatnya
dari jauh. Yah, begitulah kalau
anak-anak jatuh cinta.
Akhirnya, rasa cinta yang tidak
dipupuk itu berangsur menghilang seiring
waktu, Ahong pun kini tidak diketahui keberadaan dan kabarnya. Dan, bertahun-tahun setelah itu, Ema
akhirnya mengumumkan pada kami bahwa ia jatuh cinta dengan seseorang. Seorang pria tentunya. Bagaimana mungkin kami tidak bahagia
mendengarnya? Aku berdoa semoga hubungan
mereka lancar, meskipun aku tidak kenal dan tidak ingat nama pria yang
disebutkannya itu.
Ema sempat menertawakan khayalanku
tentang bertemu jodoh di pernikahan kak Cici.
Aku yang sudah diminta kak Cici untuk menjadi penerima tamu sebetulnya
bisa saja kan bertemu jodoh pada saat menyerahkan suvenir pernikahan? Tapi Ema malah mematahkan khayalanku itu
dengan argumen-argumen yang menurutnya logis.
Kawan, kau belum paham rupanya, saat kita bicara takdir, kita tak bisa
membuatnya berbanding lurus dengan berbagai premis yang logis.
Mungkin…
###
Pernikahan kak Cici akhirnya tiba. Dan aku tidak mengerti apa yang dipikirkan
Azka, sehingga bisa-bisanya dia memakai sandal crocs ke pernikahan kak Cici.
Ema habis-habisan meledeknya.
Sementara aku tidak begitu peduli sebetulnya, meski tergelitik juga
untuk mendukung Ema.
Selesai akad nikah aku sudah duduk
dengan tertib di meja penerimaan tamu.
Agak kecewa mendapati suvenirnya bukan gelas, karena aku sempat
mengkhayalkan tentang gelas yang pecah saat aku memberikannya pada seorang tamu
ganteng, kemudian sang tamu kece itu membantuku untuk membersihkan
pecahannya. Aku mendesah kecewa, rupanya
logis itu perlu juga.
Beberapa tamu telah datang dan
menandatangani buku tamu yang telah disediakan.
Aku memberikan hadiah suvenir berupa buku notes berbagai warna.
“Selamat datang, silakan tanda ta…”
Aku mengerjap-ngerjapkan mata saat melihat seorang pria berperawakan tinggi,
putih, bersih dan cukup tampan tersenyum di depanku. Sel syaraf otakku yang cepat sekali menemukan
potongan ingatan tentang pria ganteng, setelah beberapa detik akhirnya berhasil menemukan ingatan samar bahwa
pria di depanku ini sepertinya pernah kutemui satu setengah bulan yang lalu, saat aku
melakukan reservasi untuk masjid ini.
“Mbak…, maaf spidolnya.” Ia senyam-senyum melihat aku
yang bengong.
“Ah, ya, ini, ini” Aku segera
menyerahkan spidol yang sedang kupegang.
Eh? Sedang apa dia di sini? Bukankah dia seharusnya menikah hari
ini? Apa pernikahannya diundur karena
tidak kunjung mendapatkan gedung? Aku jadi
sedikit merasa bersalah.
“Ganteng, ya, Fa”bisik Azka, saat
pria itu menjauh.
“Udah mau nikah, tuh...”
“Kok lo tau?”Mata Azka
membulat. Aku hanya cengengesan membuat
Azka menoyor kepalaku seraya berkata ‘sotoy’.
Acara pernikahan hari ini berjalan
dengan lancar. Aku menyapa kak Cici yang
hendak masuk ke ruang ganti.
“Kak Cici!”panggilku, sambil
kerepotan membawa kado-kado miliknya.
“Ya, Fa?” Ia berhenti tepat di
depan pintu, kemudian membantuku memasukkan kado-kado tersebut ke ruang ganti.
“Notes-nya masih banyak banget nyisa, tuh. Emm, Ifa boleh ambil tiga?”tanyaku sambil
cengar-cengir.
“Oh, ya, ambil aja, lima, sepuluh
juga boleh”jawab kak Cici.
“Mbak Ci, mas Lutfi dimana, ya?”
Aku menoleh pada sumber suara. Pria itu. Pria yang pernikahannya tertunda karena
gedungnya terlanjur aku booking duluan
itu.
“Lagi ambil air wudhu deh
kayaknya." Lelaki itu hendak berbalik, namun segera dipanggil oleh kak Cici.
"Eh, Ridwan, kamu sudah punya
calon?”kak Cici mengisyaratkan pada Ridwan untuk sedikit mendekat. Aku melongo menatap mereka
berdua bergantian.
“Belum, Mbak. Sedang mencari insha Allah” Pemuda yang dipanggil
Ridwan itu tampak tersenyum manis. Eh,
bukannya dia akan segera menikah?
“Gak usah cari-cari…Nih, udah ada, insha Allah solihah” kak Cici melirikku,
membuatku tercengang.
“Eh? Masnya bukannya sebentar lagi
menikah?” Ridwan tampak terkekeh mendengar pertanyaanku.
“Karena waktu itu kamu lihat saya
lagi cari-cari gedung, ya?” Ah. Dia juga masih ingat wajahku rupanya.
“Eh! Udah pernah ketemu?”kak Cici
tampak terperanjat.
“Iya. Waktu aku lagi nyari gedung,
dimintain tolong sama mas Lutfi”
“Ya ampuuun hahaha. Aduh…, dari
dulu tuh aku udah bilang sama Ridwan kalo aku punya calon untuk dia, tapi lupa
terus kenalin ke Ifa karena Kakak sibuk banget, ehh…rupanya, Allah sudah
mempertemukan kalian duluan, masya Allah. Ifa, ini
Ridwan, adik sepupu kakak, dia ngaji sama Mas Lutfi…” Mataku
berkunang-kunang. Tersipu, berdebar
tidak karuan.
“A, emm, saya…Ifa…” Aku tersenyum
grogi, lalu tertunduk malu.
Ridwan tersenyum lagi, mengangguk
sopan.
Emaaa! Tolong berikan argumen-argumen logismu agar
otakku tidak berhalusinasi lagi. Apakah
ini khayalanku belaka?
Jadi juga dengan potongan last scene-nya. Sabar ya Saa, nanti bakal dikeluarin juga kok scene itu. xD
BalasHapusDan selamat, ceritanya lebih smooth dari yang sebelumnya, gue juga suka ending-nya :*
Emaaaaa!!! Ini si Ifa mau tanyaaa!!!
BalasHapusMana nih si Ema? Giliran dibutuhin malah ilang xDD
Baru bisa bales komen kalian, cuy.
BalasHapus@zu iya, gw menanti2kan adegan 'saaaah!' *emang ada*
@nana auk tuh si ema sibuk sama si ***