[Story Blog Tour] The One Who's Watching From Afar


Ya Allah. Kutahu, kutahu, bahwa ini garing. Ibarat kata gue kayak mendengar ada jangkrik yang bunyi di sekitar gue gitu ya. Mohon maaf, karena esok ku harus kerja bagai quda untuk mengerjakan terjemahan buat senin pagi, sehingga gue kudu ngebut ngerjain ini, untuk menyelsaikan tanggung jawab SBT gue lol. Ya gitulah pokonya cekidot.

----------------------------------------------------------------------
Aku menyingkap lengan jasku untuk melihat jam. Jam enam sore, seharusnya satu jam lagi aku pulang, tapi sepertinya jika anak ini sudah datang, aku akan ditahan lebih lama untuk bicara. Aku menyiapkan diri untuk mendengar keluh kesahnya.

Seseorang membuka pintu ruang praktikku. Aku mendongak untuk melihat seseorang yang sangat kukenal masuk ke ruanganku. Anak pembuat masalah ini. Sekarang dia mau balas dendam untuk siapa lagi? Aku sebetulnya telah terbiasa terlibat dengan masalah-masalah pribadinya, maupun menyaksikannya mengeksekusi sesuatu untuk memuaskan tantrumnya. Namun, setelah harus menyaksikan ‘kenakalannya’ minggu lalu yang melibatkan dan melukai cukup banyak pihak, aku mulai merasa sedikit jengah, meskipun sekaligus merasa khawatir.  

Memang, mungkin seperti yang ia bilang bahwa ‘aksinya’ minggu lalu bisa menyelamatkan pihak mempelai perempuan. Meskipun begitu, menurutku tindakan yang dilakukannya itu sudah terlalu jauh dan ikut campur. Sepertinya semakin lama ia semakin kehilangan kendali. Aku tahu masa lalunya, dan bagaimana ia melewati masa-masa sulitnya. Sejak ia melewati masa sulit itu, ia cukup stabil, dan terlihat semakin kuat, meskipun di saat-saat tertentu ia meledak. Namun, akhir-akhir ini aku merasa semakin khawatir. Namun, entahlah siapa yang lebih kukhawatirkan. Dirinya? Atau diriku sendiri? Aku mulai tidak yakin.

“Apa ini?”tanyaku tidak mengerti setelah ia mengatakan dengan singkat tentang benda berbahaya yang ada di tangannya. Awalnya kupikir itu adalah pen gun, senjata api kaliber kecil yang berbentuk seperti pena, yang biasa ditemukan di situs-situs ilegal penjual barang berbahaya. Pada saat ini sebetulnya di beberapa negara yang tidak memiliki undang-undang kepemilikan senjata api, benda tersebut bisa didapatkan dengan lebih mudah, bahkan secara online, misalnya seperti Amerika Serikat.

Tapi, bahkan setelah kulihat sepertinya benda ini tidak seberbahaya itu. Maksudku, benda ini benar-benar hanya terlihat seperti USB dengan bentuk yang sedikit unik dari biasanya. Bukankah itu tampak seperti benda penyimpan data yang biasa dijual di toko-toko elektronik di pasaran? Hasil dari kreatifitas produsen benda elektronik China, atau mungkin negara lainnya? Apa yang membuatnya istimewa? Mengapa ia menyebutnya sebagai benda berbahaya?

Aku memegang benda tersebut dengan rasa penasaran yang sedikit tersulut.

“Lo beneran sama sekali tidak ingat bagaimana USB ini masuk ke dalam tas lo sendiri? Atau justru lo mungkin malah menerimanya dari seorang teman? Dan lupa memasukkannya?”tanyaku, mengangkat alis, sedikit skeptis. Memang pertanyaanku sedikit janggal. Tapi, Bia memang seringkali melupakan sesuatu. Raut wajahnya tampak sedikit tersinggung.

“Hei! El. Memang akhir-akhir ini gue agak pelupa. Tapi apa nggak keterlaluan udah menganggap gue se-amnesia itu, seolah-olah gue sampai melupakan hal sepenting itu?”katanya kesal.

“Yah, mungkin saja lo mabuk, kan? Kalau gitu, emang apa isi USB itu?”

“Gue awalnya hanya merasa penasaran karena tidak merasa berurusan dengan siapapun yang memungkinkan benda tersebut masuk ke tasku. Jadi, gue coba periksa di laptop gue. Namun, setelah gue ngecek isinya, sepertinya ini bukanlah sesuatu yang main-main.” Bia menggantung kalimatnya, tampak sedikit ragu.

“Ada beberapa file dalam USB tersebut. Meskipun gue nggak begitu yakin dan paham apa isinya. Yang jelas itu sepertinya merupakan dokumen keuangan perusahaan, karena terdapat sejumlah angka yang sangat besar, jumlahnya sampai milyaran. Lalu di dalamnya juga terdapat rekaman suara, seperti sadapan telepon? Atau mungkin rekaman langsung. Gue sendiri gak paham, bagaimana mereka bisa dapat rekaman suara tersebut.” Aku mengerutkan kening mendengarkan informasi tidak lengkap itu, menuntutnya untuk menjelaskan lebih lanjut.

“Lo ingat dengan cerita gue tentang sialan yang tukang tipu itu? Si Tirta. Gue bahkan baru aja dapat fakta lain, bahwa ternyata dia memang tukang ngelakuin penggelembungan klaim asuransi. Dia yang licin melakukan penipuan memang belum sempat tertangkap. Mempelai wanitanya itu pun kaya, dan salah satu targetnya. Tapi kasusnya sedikit beda. Gue sempat cerita ke lo tempo hari, bahwa Masahiro menemukan chat dia yang tentang asuransi dan pernikahan itu. Gue rasa dia mau memanfaatkan asuransi jiwa istrinya, dan bisa aja di masa depan dia berbuat nekat mencelakai istrinya tersebut demi uang asuransi jiwa yang jumlahnya gak main-main. Meskipun gak tahu juga itu bakal berhasil apa nggak. Yang jelas cowok picik itu punya rencana yang gak baik. Tapi untuk kali ini gue benar-benar nggak nyangka, dia nekat berbuat sejauh ini.” 

Mendengar nama itu kembali disebut, aku jadi ingat wajah marah campur malu si pengantin wanita yang malang itu. Mau tak mau, itu juga mengingatkanku dengan wajah Tirta yang naas di hari itu, dan membuat rasa penasaranku muncul terkait nasib Tirta setelahnya. Tapi, untuk saat ini ada hal yang lebih penting daripada itu. Sepertinya penjelasan dari Bia belum menjawab pertanyaanku secara keseluruhan. Apa maksudnya semua itu?

Ia mengangguk seperti paham akan rasa penasaranku. Kemudian, ia merendahkan suaranya, seakan ada orang lain di dalam ruangan kerjaku.

“Lo mungkin belum paham cerita gue mengarah ke mana. Biar gue jelasin. Gue bahkan gak begitu yakin sebenarnya dengan hal ini. Gue rasa, jika mendengar isi percakapannya, orang yang ada di dalam rekaman tersebut gue duga adalah suara Tirta dan seorang pejabat pemerintahan.” Ia menghela napas, kemudian melanjutkan, semakin merendahkan suaranya.

“Sepertinya Tirta terlibat suap dengan salah satu pejabat pemerintahan. Dia sempat menyebut lawan bicaranya itu “Pak Indra”.


”Hah!!?” Sepotong kalimat itu membuatku terkejut setengah mati. Lantas kenapa bukti-bukti tersebut bisa berada di dalam tas Bia yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kasus ini? Siapa yang melakukannya? Dan bagaimana mungkin? Bukankah itu adalah hal yang sama sekali tidak masuk akal? Aku sedikit terhuyung. Ini adalah sesuatu yang sangat serius? Apa yang harus kami lakukan?

“Gue gak tahu Pak Indra itu tepatnya orang bagian kementerian apa. Yang jelas kayaknya pejabat cukup penting, sebab, kayaknya ada hubungannya dengan proyek pembangunan komplek perumahan dan sarana pra sarana sekitarnya, seperti jalan umum.”Aku menangkap apa yang barusan dikatakan oleh Bia, namun sudah tidak terlalu berkonsentrasi lagi mendengarnya. Tiba-tiba saja kepalaku penuh.

“Gue datang ke sini untuk meminta saran dari lo. Apa yang harus gue lakuin selanjutnya menurut lo? Gue udah mempertimbangkan beberapa hal, namun belum yakin dan memikirkan beberapa akibatnya.”

“Lo nanya ke gue? Gue sendiri bahkan belum selesai mencerna cerita barusan.”jawabku gusar.

“Ayolah, El! Selama ini cuma lo teman gue yang paling bijaksana.”

“Kenapa lo gak minta tolong aja ke Masahiro?” Aku minggu lalu sebenarnya sempat bertanya-tanya, mau-maunya cowok tolol bernama Masahiro itu meladeni tantrum Bia dan mengeksekusi rencananya. Dan aku pun dengan bodohnya membatalkan janji dengan seorang pasien, hanya demi menemani seorang teman yang ingin memuaskan amarahnya.

“Gue sebenarnya juga berpikir seperti itu kemarin. Tapi gue memutuskan untuk cerita ke lo dulu.” Lantas, sekarang kenapa pula aku yang jadi harus ikut memikirkan hal yang memusingkan seperti ini. 

Aku memijat keningku dan menghela napas, menenangkan diri. Bagaimana pun juga Bia adalah temanku, dan secara tak langsung, aku juga bertanggung jawab dengan yang terjadi padanya. Dan memang kali ini bukan salahnya. Dia cuma sedang sial.

“Oke. Sori. Kita pikirin solusinya bareng-bareng.” Bia menyeringai.

“Lo kapan sadar bahwa USB itu ada di tas lo?”

“Kemarin pagi, saat gue mengeluarkan semua barang-barang untuk ganti tas. Jujur gue gak pernah ngecek isi tes gue. Gue hanya mengambil yang gue butuhkan, dan yang paling sering ya hape dan dompet. Hape gue taro di resleting luar. Dompet di resleting dalam. Sementara pulpen USB itu ada di dasar tas.” jelasnya.

“Gue sempat memikirkan ingin menghubungi kepolisian. Tapi, lo tau kan, gue gak pernah percaya institusi kepolisian. Makanya gue tahan dulu.”ujar Bia.

“Jangan dulu. Yah, kita gak tau kasus ini mengarah kemana, dan melibatkan siapa saja. Kalau nanti kita kenapa-kenapa bisa gawat. Kenapa gak ke lembaga independen yang memang mengurus masalah korupsi aja langsung? Well, meski mungkin ada resikonya.”kataku, mengangkat bahu.

“Ya gue juga sempat berpikir begitu. Tapi gue agak khawatir. Sebenarnya malas harus berurusan dengan hal kayak gini. Kita mungkin akan dilibatkan dengan penyidikan, akan ada macam-macam pertanyaan, dijadikan saksi juga mungkin? Entah gue belum cari tau prosedurnya seperti apa. Tapi gue gak mungkin juga melenyapkan bukti kejahatan musuh gue sendiri. Gue sempat tergoda berpikir untuk hack­­ sosmednya dia dan memutar rekaman ini.”Ia mengucapkannya dengan cengengesan riang. Aku memutar bola mata. Dendam kesumatnya belum ada habisnya rupanya. Benci atau marah boleh, tapi tetap harus waras. Hal seperti itu hanya akan membuat penyidikan berantakan dan justru lebih berisiko. Lagipula belum terbukti bahwa data-data ini asli. Meski cerdas, kadang Bia kekanakkan dan dikendalikan napsu.

“Gue tau, gue tau. Gue gak sebego dan ceroboh itu. Sempat kepikiran aja. Yang membuat gue penasaran, siapa yang meletakkannya di dalam tas gue.” Aku termenung. Tapi memutuskan untuk memikirkannya nanti.

“Kalo gitu lo bisa telepon ke call center mereka. Dan seharusnya sih secara logika kita bisa meminta semua identitas kita untuk dilindungi.”balasku, meski tidak menjadi jawaban atas pertanyaannya.

“Gue telepon besok. Gue rasa, malam ini gue perlu menyiapkan mental untuk melaporkan hal sebesar ini.” Terdapat guratan kekhawatiran di wajahnya. 

***

Jantungku berdegup kencang ketika tidak sengaja menemukan berita mencengangkan di sebuah portal berita online, tengah malam ini.  Aku tidak tahu kebetulan macam apa ini. Berita tersebut ditulis hari ini, pukul lima sore. Seorang pria bernama Tirta Purnama, ditemukan tewas di kos-kosan yang terbilang mewah di Jakarta. Belum diketahui secara pasti motif pembunuhan pria yang sehari-harinya berprofesi sebagai agen asuransi di perusahaan asing ini.

Aku tidak yakin, ini kabar baik atau kabar buruk bagi Bia. Maksudku mungkin kematian Tirta adalah salah satu yang sempat diharapkan Bia, tapi jika ini juga berhubungan dengan nyawa Bia juga, mungkin akan jadi beda cerita. Bisa saja pembunuhan ini ada hubungannya dengan informasi yang tadi diberikan oleh Bia. Meskipun tetap ada kemungkinan lain. Apa hanya kebetulan saja timing-nya pas? Aku tidak bisa menemukan dengan pasti kemungkinan atau akar masalah ini. 

Tapi siapa? Siapa yang berusaha melibatkan Bia dengan memasukkan USB tersebut ke dalam tasnya? Dan kenapa? Dimana? Apakah di acara pernikahan itu? Apakah pengantin wanita tersebut ada hubungannya? Tirta memiliki banyak musuh sepertinya. Apakah salah satu diantara wanita tersebut? 

Aku menyambar telepon genggam, tapi sedetik kemudian sedikit ragu, tiba-tiba tidak tahu harus bagaimana. Aku menyentuh bulu kudukku yang meremang. Bagaimana pun, Bia sempat dekat dan terlibat dengan Tirta. Aku takut jika pembunuh itu bukan hanya mengincar Tirta, namun juga Bia. Aku berharap hal ini tidak akan menyeret Bia untuk sesuatu yang lebih berbahaya. Tidak. Kami telah terlibat. Jika ini ada hubungannya dengan semua bukti di USB tersebut.

Dan bagaimana denganku yang selalu berada di sekitar Bia? Apakah aku pun juga akan menjadi sasarannya? Apakah ada yang menyadap pembicaraan kami di klinik tadi? Tiba-tiba semuanya jadi terasa menakutkan. Sebuah panggilan masuk ke ponselku. Karena terkejut, ponsel itu hampir saja lepas dari genggamanku.

Bia? Apakah dia juga sudah tahu? Aku menggigit bibir cemas. Aku punya firasat buruk tentang ini.

***
Ini adalah challenge menulis bernama 'STORY BLOG TOUR', dimana member lain yang sudah diberi urutan melanjutkan cerita sesuai imajinasinya di blog pribadinya. Jadi, jika ingin tahu kelanjutan cerita di atas sampai akhir, silakan mengikuti link blog yang ditampilkan di setiap akhir cerita yaa :)

Gue, Saa. Mendapatkan giliran kedua membuat cerita. Cerita ini akan dilanjutkan secara berantai oleh member grup lain yang berpartisipasi ke dalam challenge ini.

Ep 2 : The One Who's Watching From Far
Ep 3 : still on progress
Ep 4 : still on progress
Ep 5 : still on progress
Ep 6 : still on progress

Komentar

Postingan Populer