Ilda
Sekumpulan bocah tampak asyik bermain di bawah pohon. Melihat mereka membuatku teringat akan masa
kecilku, terutama ketika sebelum masuk SD.
Masa dimana aku sudah sangat ingin bersekolah, menjadi anak kelas 1 SD
seperti kakak sepupuku yang pernah kulihat mengenakan seragam putih-merah,
meskipun ibu berkata aku belum cukup umur, dan kepala sekolah tempatku pertama
kali mendaftar SD mengatakan bahwa tanganku belum sampai ke telinga saat
disampirkan di atas kepala, sehingga belum bisa masuk SD.
Meskipun itu merupakan alasan yang konyol, namun
sebagai anak berumur lima tahun yang berang karena gagal masuk SD, aku tidak
mungkin memiliki argumen untuk membantah kata-kata kepala sekolah itu dengan
mengatakan , “Apa hubungannya panjang tangan seorang anak dengan kemampuan
akademis, atau pantas tidaknya seorang anak masuk SD?”.
Saat itu, kesibukanku sebagai anak berumur lima
tahun hanyalah bermain petak umpet atau masak-masakan. Saat sore tiba, ibu memanggilku untuk
mandi.
Sudah jam setengah lima sore. Aku berlari pulang, meninggalkan
teman-temanku yang masih bermain masak-masakan di bawah pohon jambu. Aku tidak memedulikan panggilan teman-temanku
yang berteriak bahwa permainan belum selesai.
Masa bodo, pikirku.
Aku harus segera mandi. Bukan,
bukan karena takut ibu akan marah jika aku tidak buru-buru pulang untuk segera
mandi. Bukan pula karena aku anak
penurut, sehingga aku langsung berbalik pulang saat ibu memanggilku.
Tapi, karena Ilda.
Ya, Ilda. Temanku yang selalu
datang tiap pukul lima sore, di halaman belakang. Maka sebelum ia datang, aku harus sudah selesai mandi, wangi, bersih
dan rapi. Sama seperti dia yang juga
bersih dan rapi.
“Cepat sekali mandinya!” Ibuku terkejut, melihatku
yang baru sekitar lima menit di kamar mandi sudah keluar lagi dengan mengenakan
handuk dengan asal.
Aku tidak menjawab,
kemudian memakai sendiri piyama yang sudah disiapkan ibuku.
Setelah ibu menyisir rambutku, aku akan
menghambur ke halaman belakang untuk duduk di dipan, siap bertemu Ilda. Sementara itu, ibuku akan sibuk memasak makan
malam di dapur.
Tepat pukul lima.
Datang! Ia datang. Ilda tidak mengizinkan aku untuk bergerak
sedikit pun, ataupun mendekatinya, apalagi menyentuhnya. Ia akan pergi kalau aku melakukannya.
Ilda merupakan sosok
sempurna dan mengagumkan di mataku saat itu. Cantik,
bersih, dengan rambut panjang yang dikepang dua. Ia juga
mengenakan seragam sekolah lengkap, dengan kaus kaki sampai betis dan sepatu
pantofelnya. Aku pun ingin seperti itu
kalau sekolah nanti!
Kalau aku bertanya padanya tentang banyak hal, aku
tidak berharap ia akan menjawabnya.
Bahkan, nama Ilda pun merupakan nama rekaanku, karena ia tidak kunjung
menjawabku saat aku menanyakan namanya.
“ Ilda, kamu beli tas hitam itu di mana?”
“ Ilda, apakah ibumu yang mengepang rambutmu? Itu
bagus sekali! Aku suka”
Ia tidak akan menanggapi semua ocehanku. Ia tetap akan berdiri diam di sana, berdiri
menyamping dengan seragam lengkapnya itu sembari tersenyum kaku, tidak pula
menatapku.
Jika aku bergerak mendekatinya, jangan harap ia akan
tetap di sana. Untuk itu aku rela untuk tidak
mendekatinya, demi memandangnya sepanjang sore.
“ Ilda, kalau aku sekolah nanti, aku juga ingin
punya sepatu seperti itu!” Aku melirik sepatu hitamnya yang berkilat indah.
“ Tia, ayo makan dulu! Bicara dengan siapa??” Ibuku
mengernyitkan dahinya, saat melihatku asyik mengajak bicara Ilda.
“ Ayo masuk! Sudah magrib, jangan di luar” Ibu
menarikku masuk. Ah, Ibu! Aku kan masih mau melihat Ilda! Kalau aku bergerak begini pasti ia akan
pergi!
Saat ibu menggandeng tanganku untuk masuk ke dalam, aku perlahan menengok ke belakang, tempat Ilda berdiri tegap. Benar saja, bayangannya perlahan memudar,
kemudian menghilang sama sekali seiring dengan turunnya senja. Aku hanya mendesah kecewa.
Komentar
Posting Komentar