Takdir
Tepat di hari aku
menghadiri pernikahan temanku, aku menerima sebuah sms masuk ke ponselku.
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,
telah berpulang ke Rahmatullah teman kita Devi.
Semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT.
Pesan singkat
tersebut membuat saya tersentak. Tiga
minggu yang lalu saya masih menyapanya dan berangkat bersama dari kontrakan
menuju kantor. Gadis hitam manis, yang baik, dan pintar. Masih sangat muda. 25 tahun, usia yang sangat produktif. Pesan singkat tersebut masuk pada saat momen
bahagia pernikahan teman saya yang lain berlangsung.
Kita sungguh
tidak tahu bagaimana Tuhan meletakkan takdir kita. Takdir Allah yang menentukan bahwa sahabat
saya Ruru menikah di hari tersebut, yang menentukan bahwa teman saya yang lain
melahirkan bayi perempuan, yang menentukan bahwa seorang kerabat hamil, takdir
yang mengatakan bahwa saya masih jomblo, dan menentukan bahwa umur Devi harus selesai
hanya sampai di hari itu.
Aku sempat
berbincang dengan salah satu staff Jepangku perihal takdir kematian. Dia kemudian bilang ‘Mesin punya lifetime dan kita dapatmemperkirakan
umurnya sampai kapan, akan tetapi kita sama sekali tidak dapat mengetahui
sampai kapan umur manusia’.
Namun, beliau
bicara seperti itu tanpa ada rasa keimanan kepada Tuhan, beliau Atheis. Beliau hanya tahu bahwa kelahiran dan
kematian adalah hal yang alami. Semua
orang secara alami mengalami hal tersebut.
Beliau tidak berpikir bahwa ada tangan Tuhan yang menggariskan takdir
manusia, dan tidak dapat diganggu gugat.
Hal tersebut
membuat saya berpikir bahwa kita harus bersyukur, setidaknya kita ditakdirkan
untuk tumbuh di lingkungan yang percaya akan Tuhan, dan membuat kita memiliki
rasa keimanan (meskipun mungkin hanya setitik) akan keberadaan Pencipta
yang Maha segalanya, juga kepada takdir yang telah Dia tentukan.
Percaya kepada
takdir bukan lantas membuat kita apatis, justru sebaliknya kita harus berusaha
dengan usaha terbaik yang kita punya, agar saat Allah memanggil kita nanti
dengan takdirnya, setidaknya kita sudah mengusahakan yang terbaik.
Seorang teman
Jepang saya, yang juga ateis, pernah mengatakan sesuatu pada saya, yang tidak
bisa terlupakan sampai saat ini. “Hiduplah
dengan usaha terbaikmu, agar kita siap kapan pun kita meninggal”.
Duhai, Kawan. Setelah ini pun, ingatkanlah aku selalu. Tentang rasa syukur, tentang nikmat yang diberikan oleh Pencipta semesta.
Benih keimanan yang sudah kita punya, akankah
kita sia-siakan?
Ayo kita sama-sama
berusaha yang terbaik, agar Allah pun memberikan takdir terbaik-Nya untuk kita.
Saaa.. Makasih sudah mengingatkan. Bagus tulisannya. To the point.
BalasHapusKata Umar bin Khattab, "Cukuplah kematian sebagai pengingatku"
terima kasih bang sayfurrahman sudah mampir, tulisan ini juga bertujuan untuk mengingatkan saya..:'(
HapusInalillahi....
BalasHapusTemen lo kenapa, Saa? Sakit, kah?
kabarnya sakit meningitis, na..awalnya pusing dan macam sakit tipes,masuk rs dua mnggu dirawat, trus koma, dua hari kemudian ga ada..semoga kita diberi kesehatan terus ya
BalasHapus