Kartini

Aku masih duduk di kelas lima SD saat aku terpaksa menghafal nama-nama pahlawan yang sulit itu demi ulangan semester.
Diantara jejeran nama-nama pahlawan tersebut terselip nama Raden Ajeng Kartini, yang katanya, beliau adalah pahlawan pembela emansipasi wanita. Setidaknya begitulah yang tertulis pada buku IPS Terpadu yang merupakan lungsuran dari tetanggaku. Aku bahkan tidak tahu apa arti kata emansipasi pada saat itu.
Aku tidak terlalu ingat apa yang dikatakan buku tebal itu mengenai hal-hal apa saja yang sudah dilakukan RA Kartini pada zaman itu.  Ulangan semesterku untuk pelajaran IPS hanya memperoleh nilai enam.
Aku tidak begitu mencermati bagaimana RA Kartini menghabiskan masa remajanya. 
Yang pasti, kurasa beliau tidak mengalami masa kecil atau masa remaja sepertiku.
Masa-masa ulangan semesterku tidak kuhabiskan dengan belajar, atau menghafal nama-nama pahlawan tersebut, melainkan berkutat dengan ayahku sendiri, menghalanginya dengan sekuat tenaga agar tinjunya tidak melukai ibuku yang hanya sanggup menangis di sudut dapur, aku terlalu lelah dengan ayahku yang mencaci ibuku yang telah penat berjalan seharian menjajakan gorengan kepada tetangga sekitar.
Pikiranku terlalu kalut dengan ancaman cerai dari ayah pada ibuku.
Belasan tahun telah berlalu sejak saat itu.
Aku yang memaksa ibu agar terbebas dari ayah.  Tak peduli seperti apa morat-maritnya kehidupan kami setelahnya.
Aku berjanji akan belajar lebih giat demi ibu.
Bertahun-tahun terlewati setelah itu, buku IPS lungsuran dari tetanggaku itu rupanya masih tersimpan meskipun sudah sangat lusuh dan berdebu.
'Emansipasi', aku mengeja sebuah kata dalam buku itu, yang dulu tak begitu kupahami maknanya. 
Apakah aku sudah menjadi bagian dari perjuangan emansipasi..?
Apapun sebutannya, kurasa aku telah melakukannya, setidaknya untuk ibuku tersayang.

Komentar

Postingan Populer