Andai Aku Jadi Presiden

Sebenarnya ini adalah tema tantangan OWOP (Grup nulis yang baru saja saya ikuti) Selasa lalu hahaha!  Telat abis.  Waktu itu gak ikut lomba karena lembur sehingga ogah mikir. 
Ini saya persembahkan sebagai setoran aja deh.  Semoga di antara Nana, Ruru, atau Zu ada yang menang biar bisa nebeng minjem buku atau nyobain risolnya *ngarep yang lokasinya deket2 wkwkwk*  


-------------------------------------------------------
Dari kejauhan terlihat kerumunan mahasiswa di sana.   Terlihat para pengurus BEM universitas lalu lalang, juga beberapa perwakilan dari BEM fakultas, hendak mempersiapkan rapat koordinasi sore ini.  Mereka berkumpul di depan gedung D.

Demonstrasi.  Lagi.  Angga sedikit gentar.  Di sisi lain, masih ada sedikit keinginan untuk turut berjuang bersama para mahasiswa lain, namun di saat yang bersamaan dia juga takut dan enggan.  Terlebih orangtuanya kerap tidak mengizinkan dia untuk ikut-ikutan demonstrasi.  Orang tuanya selalu mengingatkan dia untuk fokus belajar.  Bahkan dulu kedua orangtuanya menentang saat dia memutuskan untuk masuk BEM fakultas.

Keberanian dia sedikit demi sedikit pupus seiring menguatnya ambisi menjadi seorang arsitek terkenal.  Impiannya saat masih sekolah dulu untuk menjadi mahasiswa yang memperjuangkan Indonesia, terkikis karena satu tujuannya yaitu lulus dengan nilai terbaik.  Kekagumannya pada mahasiswa se-Indonesia saat berhasil menggulingkan rezim terdahulu, terkubur oleh hasratnya mengejar beasiswa dan melanjutkan kerja di luar negeri.

Akan tetapi, rezim ini keterlaluan.  Kebijakan yang mereka pilih benar-benar tidak masuk akal dan membuat marah.  Presiden yang katanya pilihan rakyat itu kemudian dengan cepat mengkhianati rakyat.  Presiden yang katanya merakyat itu bermetamorfosis menjadi seorang ahli dalam menyengsarakan rakyat.   Kini, presiden itu dianggap tidak becus mengatur negeri.  Sudah seringkali unjuk rasa dilakukan di berbagai kota di Indonesia, terutama di Jakarta.  Tapi, semuanya luput dari media. 

Tapi…, siapa peduli.   Angga sudah terlalu muak dengan semuanya.  Bangsa ini tidak belajar dari kesalahan.  Yang harus segera ia lakukan adalah belajar yang benar untuk meraih gelar S1, lalu melanjutkan studi keluar negeri kemudian bekerja di sana.  Selesai.  Nantinya, ia tidak perlu lagi menyaksikan langsung ketidakstabilan politik tiap hari, tidak perlu mencak-mencak dengan kemacetan ibukota, tidak perlu mengeluh dengan kenaikan harga dan terpuruknya rupiah.

Angga akhirnya melengos, menjauhi gedung itu, namun bertepatan dengan itu, Fajar, wakil ketua BEM fakultasnya yang sedang berlari-lari kecil menuju gedung D, memergokinya yang tengah berbalik melawan arah.

“ Mau kemana, Ga?  Tuh udah pada nunggu” sapa Fajar.

“ Jar, gue ga bisa ikut rapat koordinasi, gue ada urusan”

“ Oh, oke, entar malem gue sms hasil briefingnya ya, cuma ngomongin rute sama konten tuntutan, Insya Allah kita jalan dari sini jam delapan, Ga”

“  Gue besok juga ga ikut, Jar”

“ Ha? Kenapa?”

“ Jar, lu bayangin, Jum’at kita tes, Jar! Gue gak mau nilai gue jeblok”

“ Gak usah lebai, Ngga, malem Jum’at kita masih bisa belajar, lagian itu juga bukan ujian akhir.  Tes biasa doang”

“ Gue udah muak Jar, demo mulu, lu liat kita gak akan dapet apa-apa, pemerintah gak akan ngedengerin kita juga, bbm bakal tetep naik, bahkan demo kita pun gak akan diliput media, dan masyarakat gak mendukung kita, malah sebaliknya, banyak yang nyinyir.”

“ Gue gak ngerti jalan pikiran lo, Ngga.  Jadi lo maunya kita diam?? Pesimis? Biarin mereka terus ngeluarin kebijakan gila?  Biarin negara kita hancur? Kenapa lo jadi kayak gini sih Ngga?  Bukannya lo dulu menggebu-gebu banget masuk BEM, biar bisa sama-sama ikut berjuang?”

“ Itu dulu Jar, gue udah capek. Hampir tiap minggu kita demo, tapi BBM tetep aja naik, tuh presiden juga tetep gak mau turun”

“ Kita terus berjuang, Ngga. Kita mahasiswa, jadi tonggak bangsa ini, kita harus turun ke jalan.  Buruh demo untuk kenaikan gaji, Ngga.  Pekerja demo untuk menuntut hak asasi mereka. Wartawan demo untuk hak kebebasan pers.  Tapi, besok kita demo untuk kepentingan bangsa secara keseluruhan.  Demi kebaikan negara lo, negara kita juga.  Seenggaknya itu yang harus kita perjuangkan.  Gak bisa kan lo diem aja liat kondisi kayak gini sekarang?  Ini terlalu bahaya kalau dibiarkan.” ujar Fajar berapi-api.  Angga hanya mengatupkan rahangnya kuat-kuat.  Terdiam.

“ Gue gak tau, Jar. Gue balik” Angga pergi, meninggalkan Fajar yang masih menatapnya tajam.

“ Angga! Gue tunggu kehadiran lo besok! Kita bakal ketemu di bunderan HI sama BEM dari universitas lain! Gue tau lo bukan pengecut! Gue tau lo peduli!” teriak Fajar, sebelum akhirnya dia berbalik, dan berjalan ke arah gedung D.

----------------------------------

Gerakan tangan Angga yang sedang melanjutkan sketsanya terhenti saat sms dari Fajar masuk ke ponselnya.  Aksi siaga BEM seluruh Indonesia.  Rute yang akan ditempuh besok:  Bundaran HI- Sudirman-Semanggi-Monas/Istana negara.  Jam 9 sudah kumpul di bundaran HI.  Konten tuntutannya adalah: 1. Menurunkan harga-harga kebutuhan pokok 2. Stabilisasi ekonomi 3. Negosiasi Freeport 4. Pengusutan kasus korupsi dan pemberantasan koruptor

Dia menghela napas.
Gak ada capeknya lo, Bro, ikutan ginian…Kayak bakal didengerin aja ama pemerintah…
Pikirannya masih berkecamuk, tak bisa melanjutkan gambarnya lagi.

-------------------------------------

Sejak jam delapan Fajar sudah siap dengan spanduk di tangannya.  Beberapa mahasiswa lain sibuk menyiapkan tulisan di atas kertas karton besar yang mereka beli di koperasi mahasiswa.  Mereka siap bergerak hari ini.  Tak ada yang dapat menyurutkan semangat mereka. Ada yang berangkat bersama dari kampus, ada yang langsung menuju ke bundaran HI.  

Lautan mahasiswa dengan jaket almamater berwarna-warni itu merapat.  Mereka berasal dari universitas berbeda, bahkan dari kota dan logat berbeda, namun mereka tetap satu negeri, satu misi, dan sama-sama memiliki rasa cinta tanah air.  Salah satu dari mereka berorasi dengan tegas dan berapi-api.  Matahari yang mulai meninggi tidak menyurutkan semangat mereka untuk terus melakukan long march.   

Seseorang dengan almamater biru tua mendekati barisan itu, sedikit terlambat.  Terengah-engah.  Penjagaan cukup ketat, takut penyusup dan provokator masuk barisan, yang dapat merusak tujuan awal unjuk rasa.  Lelaki itu mencari kawannya diantara para mahasiswa itu, mencari di antara kerumunan jaket biru tua. 

“  Fajar!!” panggil Angga.  Namun, Fajar yang sedang sibuk meneriakkan tuntutan tidak mendengarnya.
Akhirnya seseorang berjaket kuning menoleh, tersenyum padanya, dan mengulurkan tangan padanya, menyuruhnya masuk barisan.  Ia terus merangsek masuk mendekati kawannya.  Fajar sedikit terkejut saat mendapati Angga di sampingnya.

“ Selamat berjuang, Bung!” sapa Fajar.

“ Sori gue telat, nganterin nyokap dulu nganter dagangan” kata Angga, membuat senyum Fajar makin lebar.

“ Gue tau lo bakal datang walaupun telat”

Mereka terus bergerak maju, sampai akhirnya mereka tiba di depan istana negara.  Tepat tengah hari.  Matahari sudah tidak kenal ampun menghajar mereka, tapi mereka tidak peduli kalaupun kulit mereka menjadi kehitaman akibat terbakar matahari, yang mereka pedulikan hanyalah nasib Indonesia. Selamatkan Indonesia, selamatkan bangsa ini.

Beberapa ibu-ibu yang bersimpati, secara sukarela memberikan berkotak-kotak nasi gratis kepada mereka.

“ Silakan dimakan, Nak.  Terima kasih sudah mau berjuang untuk negeri kita.. Sulit untuk tidak bangga pada kalian, Nak” kata mereka sambil terus membagikan kotak-kotak nasi itu.  

Mata mereka berkaca-kaca.  Bisa jadi para wanita-wanita itu juga merupakan mantan pejuang mahasiswa dulunya. Para mahasiswa itu menyanyikan lagu Indonesia Raya, berorasi dengan menjabarkan pengkhianatan presiden dan para penjahat negara yang ada di belakangnya, kemudian meneriakkan tuntutan rakyat.

Ketika unjuk rasa sampai pada puncaknya, mahasiswa memaksa masuk pintu pagar, membuat suasana menjadi  panas.  Polisi menembakkan gas airmata ke udara untuk mengusir para mahasiswa itu agar mereka menjauhi pagar.  Mereka tetap tak gentar.  Adu mulut terjadi antara aparat dan mahasiswa, dan kondisi semakin ricuh.   Tembakkan pistol diletupkan ke udara.  Aparat keamanan menggunakan bambu-bambu panjang dan kayu untuk memukuli para mahasiswa itu.  Satu orang polisi yang kalap menghujani pukulan ke salah seorang mahasiswa.  Fajar yang berada di sana turut terkena pukulan bertubi-tubi, dan tepat di kepala.  Ia ambruk.

“ Jaaaar!!! Aparat sialaaaan!!” Angga berteriak marah.  Namun, seseorang segera mencegahnya dan menariknya menjauh dari kejaran polisi. 

Angga menatap nanar sahabatnya yang ambruk dengan kepala berdarah-darah itu.  Beberapa mahasiswa dengan tergesa menggotong tubuh Fajar agar menjauh dari sana.  Mata Angga menyala-nyala marah, bibirnya bergetar.

Kemudian menggumam lemah,
Andai aku jadi presiden, meskipun tidak akan menjadi seorang presiden yang sempurna,,  setidaknya kupastikan mahasiswa dan rakyatku tidak akan mengalami ini semua.

Matanya merah, berair, entah karena pengaruh gas airmata yang ditembakkan ke udara, ataukah karena airmata.

Matahari di atas Jakarta masih bersinar dengan terik, menyorot tajam para mahasiswa yang tetap tegar berteriak,

 "Siaga Indonesia! Selamatkan Indonesia!!" 

Komentar

Postingan Populer