Review Singkat Novel Persuasion dan Pride&Prejudice

Buku roman klasik setebal 300 dan 500 halaman akhirnya habis saya baca.  Fiuh.  Takkan ada yang heran, jika saya betah membaca novel fantasi mengasyikkan seperti Harry Potter.  Tapi, novel roman klasik? Yeah.  Selamat, Saa.  Itu merupakan pencapaian terbesar saya dalam dunia membaca buku.  

Persuasion, dan yang satunya lagi Pride and Prejudice, semua novel tersebut merupakan buah karya dari seorang penulis novel terkenal yang lahir di abad ke 17, bernama Jane Austen.

Seandainya saja saya menonton filmnya, maka rasa-rasanya saya takkan sudi merepotkan diri untuk melihat ending filmnya, ataupun tahan menyaksikan lima puluh persen lebih adegan film yang kemungkinan besar berisi adegan tarik ulur, prasangka ataupun gengsi-gengsian dan kepasifan dari kedua pasangan di novel-novel ini.  Tapi, untunglah, buku memang lebih kaya akan limpahan emosi ketimbang film.  Sehingga saya bisa mendalami emosi Elizabeth Bennet, juga memaklumi saat dia menolak lamaran cowok sekece Mr.Darcy. 

Novel-novel ini tentunya memiliki daya tarik tersendiri dengan menggambarkan kehidupan masyarakat Inggris di abad 17-18.  Sebuah pengetahuan lain yang saya peroleh dari novel ini adalah, bahwa masyarakat Inggris di masa lalu amat memperhatikan kehormatan wanita, bahwa mereka akan menanggung malu dan aib, juga hukuman berupa pandangan miring masyarakat, jika seorang gadis hidup bersama dengan pasangan sebelum mereka resmi menikah, atau bertingkah menyimpang dari norma-norma yang berlaku di masyarakat.  Bahwa, kehormatan dan harga diri seorang gadis adalah sesuatu yang sangat penting.  Dan saya mengira, hal seperti itu nampaknya tidak tersisa lagi di Inggris masa kini.

Komentar saya yang pertama adalah tentang novel Persuasion.  Karakter utama wanitanya adalah Anne Elliot, dan karakter pria yang disandingkan oleh pengarangnya adalah, Kapten Wentworth.  Anne ini menurut saya merupakan karakter heroine yang biasa banget sebenarnya; pendiam, pengalah, keibuan, dan kesabaran tak bertepi menghadapi segala perlakuan dan tingkah memalukan saudara-saudara dan ayahnya, Sir Walter, yang teramat narsis, karena kebanggaannya akan darah kebangsawanannya.   

Delapan tahun yang lalu, saat usianya masih belum genap dua puluh tahun, Anne bertemu dengan seorang pemuda gagah, cerdas, serta penuh semangat bernama Frederick Wentworth.  Mereka saling jatuh cinta, maka Wentworth pun mengutarakan niatnya untuk melamar Anne.  Namun, lamaran tersebut ditolak dan ditentang oleh keluarga besarnya, dengan alasan, Wentworth tidaklah sepadan dengan kebangsawanan Elliot, selain itu Wentworth yang baru bergabung dengan angkatan laut, dianggap tidak memiliki profesi yang berpenghasilan stabil, dan hal tersebut membuat riskan.  Akhirnya mereka berpisah, dan Wentworth menganggap Anne plin-plan karena terlalu penurut dengan pendapat keluarganya.

Namun, suatu hari, dalam suatu kesempatan, mereka dipertemukan kembali.  Dan rupanya, Wentworth  terlihat masih kesal juga agak dendam kepada Anne atas kejadian tersebut, terlepas dari fakta bahwa dia pasti masih belum bisa move on dari Anne, karena toh dia belum juga menikah meskipun delapan tahun berlalu setelah penolakan lamaran itu.  Ia seringkali menyindir di depan Anne (melalui lawan bicaranya yang lain), akan pentingnya sikap keteguhan hati, bahwa seorang wanita tidak boleh bersikap plin-plan.  Meskipun begitu, Wentworth yang memang masih menyimpan rasa pada Anne,  tidak bisa bersikap acuh tak acuh, ataupun menyembunyikan kebaikannya pada wanita itu, meskipun seringkali tetap bersikap dingin dan gengsi.
Singkat cerita, beberapa kejadian yang membuat mereka bersama, telah membuat keduanya meyakini bahwa mereka masih saling mencintai satu sama lain.  Kapten Wentworth pun menyaksikan bahwa Anne telah semakin bijaksana, keibuan dan serba bisa, yang malah membuat dia makin jatuh hati dan mencintai Anne dibandingkan delapan tahun yang lalu.  Dan, seperti yang diharapkan dalam kisah-kisah roman, tentunya Anne dan Kapten Wentworth akhirnya dapat bersatu, bahagia selamanya.

Sementara untuk novel yang satunya lagi, Pride and Prejudice, astaga, novel ini panjang betul, 585 halaman.  Tapi, secara keseluruhan, saya cukup menyukai konten ceritanya dibanding Persuasion.  Karena, saya lebih terbiasa dengan karakter ceria dan lugas juga agak serampangan seperti Elizabeth Bennet.
Adalah Elizabeth Bennet, hidup dalam keluarga pas-pasan yang (yang lagi-lagi) setengah dari anggotanya agak kurang waras.  Ibunya suka bergunjing, pamer, sementara kedua adiknya yang paling bungsu, ganjennya minta ampun juga tolol. 

Suatu hari, datanglah seorang pemuda kaya raya nan tampan bernama Bingley, yang menyewa tanah di Netherfield.  Mrs.Bennet, yang memiliki impian kelima anak gadisnya dapat cepat menikah dan hidup layak dan berkecukupan dengan seorang pria kaya tentunya tidak akan menyia-nyiakan ini. Ia menyuruh suaminya untuk bertandang ke rumah Mr.Bingley, menemui warga baru itu.  Lalu, keluarga ini bertemu kembali dengan Bingley di sebuah pesta dansa yang diadakan oleh warga sekitar situ.  Mr.Bingley tampak jatuh hati dengan putri sulung keluarga Bennet yang bernama Jane, sehingga sampai-sampai Bingley mengajak Jane berdansa dengannya dua kali.

Dalam pesta itu, Bingley membawa serta adik-adiknya dan sahabatnya.  Sahabatnya itu bernama Mr.Darcy, yaitu seorang pria angkuh, kaya raya, dan tak memiliki pembawaan luwes dan simpatik.  Saat pesta dansa itu, Darcy menolak berdansa dengan Elizabeth Bennet, meskipun pesta dansa tersebut kekurangan pasangan pria, dan ia sendiri melihat bahwa Elizabeth hanya duduk karena tidak punya pasangan.  Darcy juga berpendapat bahwa Elizabeth berparas biasa-biasa saja.  Pastinya Elizabeth benci minta ampun dengan sikap Mr.Darcy yang sombong, dan tidak sopan terhadapnya.  Namun, akhirnya Mr.Darcy kualat dengan pendapatnya sendiri.  Meskipun pada awalnya ia mencela Elizabeth, tapi rupanya pertemuan-pertemuan selanjutnya membuatnya semakin menyadari bahwa Elizabeth adalah gadis ceria, yang penuh dengan kecerdasan, juga memiliki mata yang indah, sehingga ia malah jatuh cinta pada wanita itu.

Saat Jane diundang ke rumah keluarga Bingley, datang kabar bahwa Jane sakit demam karena kehujanan saat ia melakukan perjalanan ke sana.  Elizabeth berjalan kaki sejauh 30 mil untuk menyusul dan memastikan kondisi kakaknya tersebut karena sangat cemas.  Di sanalah ia bertemu kembali dengan Mr.Darcy, dan Mr.Darcy semakin mengagumi sifat-sifat yang dimiliki oleh Elizabeth.  Namun, Eliza yang telah dipenuhi prasangka buruk terhadap Mr.Darcy, tetap menganggap bahwa pria tersebut adalah pria paling menyebalkan yang pernah ditemuinya.  Eliza sama sekali tidak menyangka bahwa Darcy diam-diam telah mengagumi dan jatuh cinta padanya.

Pada suatu ketika, Elizabeth menghadiri undangan dari sahabat karibnya, Charlotte, untuk berkunjung ke rumahnya di Hunsford.  Beberapa minggu kemudian Mr.Darcy juga mengunjungi Hunsford, dengan adanya pertemuan itu, semakinlah ia jatuh cinta pada Elizabeth.  Akhirnya, ia melamar Elizabeth, namun, di luar dugaannya, Elizabeth menolak mentah-mentah lamaran itu dengan kasar, juga melontarkan berbagai macam tuduhan kepadanya, melontarkan prasangka-prasangka yang ada di dalam kepalanya, akibat pandangannya terhadap sikap Darcy yang tampak angkuh selama ini.  Dia juga melontarkan tuduhan kepada Darcy, bahwa pria congkak dan licik tersebut telah turut campur tangan untuk memisahkan kedekatan kakaknya, Jane, dengan Bingley.  Darcy syok mendapat tanggapan seperti itu dari Eliza, namun berkat kritikan dan tuduhan pedas itu, Darcy yang memang dasarnya memiliki sifat baik, berintrospeksi diri dan berusaha memperbaiki sikapnya.

Darcy menjelaskan segala macam tuduhan yang dilontarkan oleh Eliza, juga soal prilakunya selama ini, dalam surat yang ditulis dan diserahkannya untuk Eliza.  Sejak saat itu, kebencian Elizabeth terhadap Darcy mulai memudar.  Terlebih, di kesempatan lain saat mereka kembali bertemu, Elizabeth mendapati sikap Darcy yang jauh menjadi lebih baik dan sopan.  Ia juga tidak lantas membenci Elizabeth.  Meskipun lamarannya telah ditolak dengan sangat tidak sopan oleh Eliza, ia tetap memperlakukan Elizabeth dengan sangat baik.

Apalagi, saat adik terbungsu Elizabeth, yaitu Lidya, terlibat skandal kawin lari. Darcy dengan murah hati membantu menyelesaikan permasalahan tersebut (meskipun kebaikan dan peran Darcy ini tidak diketahui oleh anggota keluarga yang lain).  Elizabeth semakin merasa berhutang budi pada Darcy, ia melupakan segala rasa bencinya, dan menyadari bahwa Mr.Darcy adalah sosok pria yang memiliki sifat yang sangat baik dan murah hati.  Dan, yah, tentu saja, Elizabeth tidak akan mengulang kebodohannya saat Mr.Darcy melamarnya untuk yang kedua kalinya.  Mereka pun menjadi pasangan paling berbahagia di dunia ini, di tengah kejombloan saya.

Saya telah menetapkan hati bahwa tidak boleh membaca buku roman klasik semacam ini sering-sering, mengingat akan berdampak pada tingginya ekspektasi saya terhadap pria, juga melambungkan harapan terhadap kisah cinta yang sesempurna ini.  Mungkin itu pula yang menyebabkan Jane Austen, konon, tidak pernah menikah sepanjang hidupnya.  Apakah mungkin ia terjebak dalam khayalan-khayalannya akan kisah cinta yang sempurna, seperti dalam karangannya?

Namun, jika saya harus memilih antara Kapten Wentworth atau Mr.Darcy di dunia nyata, rasa-rasanya, ketimbang Darcy yang bangsawan sejati, serta kalem luar biasa, saya mungkin akan lebih memilih Wentworth yang blak-blakan, cerdas, gagah, dan sedikit pendendam meskipun tetap lembut, karena karakter yang seperti Wentworth lebih manusiawi dan bikin greget.   Tentunya, tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap Mr.Darcy yang memiliki kemurahan hati tiada bertepi LOL.



Hayoloh! Tanggung jawab, Mr.Darcy!!



Komentar

  1. Gue jadi penasaran sama novel Pride n Prejudice deh, tadi gue sempet obrak-abrik isi leptop ada film itu ternyata. Mau nonton, ntar gue malah nggak baca novelnya lagi...
    Jadi mau minjem dulu deh...

    #mauminjemajaintronyakepanjangan xD

    BalasHapus
  2. Buakakaakakqkq bagus kok juuuu ntar ya ekeh bawa

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer