Topeng-topeng Jiwa

Cerpen ini adalah tantangan dari Dhira di grup. Deadlinenya sebenarnya tanggal 6 Desember, tapi karena ada berbagai kesibukan, maka baru bisa dirampungkan sekarang *halasan!* Walaupun telat gak papa yah guys wkwkw. Maafkan aku!!
Kali ini saya akan sok-sok bikin thriller. Entah menurut kalian gagal apa nggak, silakan nilai sendiri. Yang penting hutang saya LUNAS HAHAHAHA! *stress
------------------------------

Hari ini aku kembali meninggalkan rumahku, mungkin kali ini sedikit lama.  Tidak apa-apa.  Takkan ada yang mencemaskan atau mencariku.

Ayahku sedang bermain golf di Batam bersama kolega bisnisnya, dan aku tak tahu kapan ia akan pulang.  Yah, mungkin sambil mencari wanita? Entahlah.  Mungkin seperti wanita yang pernah kulihat minggu lalu.  Aku tak menyangka dengan seleranya. Gadis-gadis muda yang seumur denganku.

Ponselku berkedip , menandakan pesan masuk.  Tangan kiriku menggapai ponsel yang kuletakkan di atas dashboard mobil di depan setir.
Sudah dapat ide untuk skripsi? , Nadia, teman dekatku di kampus yang mengirim sms.

Ah, sial!  Aku belum menyentuh skripsiku sama sekali.  Tapi, aku sudah mendapatkan tema yang bagus. Aku tak membalas sms-nya, karena sedang menyetir.

Oh, ya, di luar kegiatan kuliahku, aku adalah seorang penulis.  Saat ini aku punya ide baru untuk cerpenku, yang nanti akan kukirimkan lagi pada sebuah majalah. Dan saat ini, aku sedang menuju rumah Nadia untuk membahas ide ceritaku, juga tentang skripsi dengannya.  Seperti biasa, ia pasti akan antusias mendengarnya.

***

Aku membuka laptop-ku untuk mulai mencari bahan penelitian skripsiku.  Setidaknya untuk pengajuan ide ini aku harus mencari teori-teori dasar, agar aku punya argumentasi pada presentasi proposal skripsi.  Sembari mencari teori itu di internet, aku melipir untuk mencari informasi-informasi tentang lomba menulis.

Tidak ada yang baru.  Yang muncul malah pengumuman dari lomba cerpen yang deadline terakhirnya sekitar sepuluh hari yang lalu.  Aku membukanya. 

Ah, lomba menulis fiksi thriller rupanya.  Diantara nama-nama pemenang yang terdaftar pada list, aku melihat nama pena Nad Florensi. 

Tidak salah lagi, itu adalah Nadia.   Aku pernah mendapatinya membuat salah satu emailnya dengan nama itu.  Terdapat tautan untuk menghubungkan kepada halaman yang memuat cerita yang dibuat Nadia.

Aku membacanya sampai habis. 

Tersenyum.

Aku tak menyangka ia tertarik menulis cerita thriller, aku juga tidak pernah tahu ia mengikuti kompetisi menulis.  Tapi, kurasa seharusnya akhir ceritanya membutuhkan polesan lagi, dan menurutku ada judul yang lebih cocok untuk cerita ini.

***
Aku bergegas berganti pakaian di kamarku.  Atasan dan bawahan yang bernuansa gelap, karena hari ini adalah hari berkabung.  Teman yang kukenal sejak masuk kuliah, Nadia Alysa, kemarin ditemukan meninggal secara tragis di kamarnya, dan pagi ini ia hendak dikebumikan. 

Mayatnya hampir membusuk karena orangtuanya baru menemukannya setelah mereka pulang berkunjung dari rumah kakek mereka yang sakit di Sukabumi.  Mereka melaporkan pada polisi tentang perampokan yang menimpa putri semata wayang mereka.
Aku segera menyetir menuju rumahnya. Menatap kurung batang yang tengah dibawa warga.  Aku mencoba untuk berempati.  Namun, sulit sekali.  Yang keluar bukan guratan kesedihan, tangisan atau airmata, malah seringai di balik sapu tanganku.
Bukan salahku. 

Aku tidak masalah saat ia jalan bersama Restu, teman satu angkatan yang kutaksir sejak ospek, karena belakangan kupikir Restu hanya sampah.  Aku juga sudah mencoba memaafkannya saat aku memergokinya dari jauh, sedang berjalan sambil menggelayut manja di lengan ayah, karena kini aku tak pernah betul-betul menganggap pria itu sebagai ayahku.  Tapi, di luar itu semua, aku kan sudah berkali-kali mengatakan, dan seharusnya dia tahu, bahwa aku paling benci penjiplak cerita. Lebih dari apapun!

Nah, sekarang, aku sudah merevisi ceritanya.  ‘Aku’ dalam cerita itu tidak mati bunuh diri, tapi mati dibantai salah satu sahabatnya.  Dan untuk judul yang ia buat, yaitu “Malam Terakhir” yang lebih cocok untuk cerita romantis picisan, sepertinya judul “Manusia dengan Topeng-topeng Jiwa” akan lebih sesuai. 

Karena, yah, kau tahulah, kurasa semua manusia itu masing-masing memakai topengnya.  Sama seperti Nadia, seperti aku, juga sepertimu.  Iya, kan?

Selamat jalan, temanku, Nadia. Aku sudah menjalankan kewajibanku sebagai teman. 

Menghadiri pemakamanmu.

Komentar

  1. Waw... Buat lagi dong Saa, cerita kyk gini. Bagus.

    BalasHapus
    Balasan
    1. gw bikin ini entah gmn prosesnya, pas nulis jadi aja..pdhl ide cerita awalnya ga gini, tp pas nulis tau2 jd gini.alhamdulillah kalok bagus, boleh kok ci disebarin cerita gw *pede amaaat*

      Hapus
  2. Kayanya lo berbakat bikin cerita jahat gitu deh Saa, wakakaka Bener tuh kata Cici bikin lagi xD

    Eniwe gambarnya kepotong gitu jadi lebih serem wakakaka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin itu adalah sbagian sisi kelam gw?
      Bukankah semua orang memakai topengnya, aku, kamu dan org2 lain di dunia *smirk* LOL

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer