Bahasa Jepang, Benci Tapi Cinta? Benci Tapi Rindu?


Udah lama ya gak nulis blog, gak sibuk juga sih, tapi sampai sebulanan lebih tidak mengurus blog, sampe berdebu dan banyak sampah gini (curhat  tentang kamar kontrakan).  Tadinya mau nyalahin sindrom ‘writer block’, tapi kata kang Gari, writer block itu gak ada, adanya penulis yang males.  Baiklah…sepertinya saya memang harus kembali ‘memaksa’ tangan saya untuk mengetik.  Kali ini, saya ingin menulis tentang pengalaman saya belajar bahasa Jepang, dan segala hal yang berkaitan dengan jejepangan.  Kenapa saya bisa nyasar ke bahasa Jepang?

Kalau dibilang tersasar sih sebetulnya tidak.  Alasan saya menyemplungkan diri ke jurusan bahasa Jepang adalah karena saya tidak memiliki hal lain yang saya minati untuk dipelajari.  Akuntansi? Dulu sempat saya berpikir untuk masuk STAN! Ini entah nalar saya gimana pada saat itu. Kalau dipikir sekarang, ‘Bagaimana mungkin gue yang sering dapet nilai 6 di mata pelajaran ekonomi memasuki dunia akuntansi?’.  Setelah saya antri  buat beli formulirnya yang waktu itu kalau gak salah harganya 100rebu-an, syukurlah akhirnya saya diberi hidayah untuk tidak mengikuti tesnya di hari-H, karena akhirnya yakin bahwa STAN ‘bukan gue banget’.  Lalu, saya pernah disuruh masuk IT.  Jaman SMA, tugas corel draw aja dibikinin teman, kelak nyentuh IT pula? Kayaknya itu bukan jalan saya deh.  Saya juga pernah disuruh ikut tes sekolah tinggi kedinasan, departemen kehakiman.  Yang model seragamnya kayak STPDN.  Tolonglah, kasih saran itu yang logis.  Berat badan saya aja underweight, cungkring, bagaimana pula logikanya diri ini bisa masuk sekolah yang lingkungannya bengis kayak gitu.  Sebelum lulus mungkin keburu tinggal nama.  Atau justru sebaliknya, seniornya pada kasihan liat saya.

Akhirnya, saya pilih bahasa Jepang.  Pilihan yang paling normal, yang sesuai dengan saya.

Pertama kali bersentuhan dengan dunia jejepangan mungkin sejak saya masih di bangku TK (5 tahun).   Saat itu merupakan masa kejayaan kamen rider black, dengan tokoh utamanya Kotaro Minami yang berjaket putih.  Sebagai anak TK yang sudah sedikit baligh, saya naksir berat dengan Kotaro, dan berharap suatu saat bertemu dengan pria seperti dia yang mampu membasmi hal-hal dan orang-orang jahat di sekitar saya.  Mungkin tanpa saya sadari, itu merupakan salah satu alasan saya masih jomblo?....

Saya tahu, akang Kotaro yang sekarang sudah jadi bapak-bapak menuju kakek ini bertempat tinggal di Jepang.  Jadi, saya berpikir, kelak saya ingin pergi ke Jepang juga menyusulnya.

Di waktu SMA, ada pelajaran mulok bahasa Jepang, jadi saya mulai mempelajari aksaranya, saya mulai mempelajari bunyi-bunyi bahasa Jepang, dan tetap menyukai drama-dramanya.  Meskipun saat itu demam k-Pop sudah santer melanda, saya tidak begitu tertarik.  Saya tetap setia pada Jepang.  Meskipun saya menyukai Jepang dan bahasanya, sebelumnya saya tidak berpikir akan melakoni profesi yang berkaitan dengan bahasa Jepang, atau berpikir hidup dari bahasa Jepang.  Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya bahwa saya sempat galau memilih jurusan.  Tapi, akhirnya saya sadar bahwa Jepang-lah cinta pertama saya.

Saya pun masuk jurusan bahasa Jepang.  Kuliah saya bisa dikatakan lancar.  Meskipun saya tidak bisa dikatakan rajin, saya tidak pernah sekalipun mengulang mata kuliah, atau mendapatkan C untuk mata kuliah jejepangan.  Saya akhirnya lulus dengan nilai baik.

Akan tetapi, masalah dimulai saat masuk dunia kerja.  Bahasa Jepang itu tidak seindah di kampus.  Kecepatan bicara orang Jepang yang asli tidak seperti di kaset-kaset latihan listening.  Apalagi pemilihan kata mereka.  Belum kalau mereka ngomong sambil makan dengan mulut penuh.  Ditelpon atasan dengan bahasa Jepang itu siksaan bagi saya, karena saya ngeri gak paham mereka ngomong apa.  Mereka tidak bicara seperti di buku-buku.  Terlebih kosakata khusus/senmonyougoberkontribusi dalam memperburuk masalah.  Saya yang merasa kece pada saat kuliah jadi merasa sangat bodoh.

Untunglah staff-staff Jepang saya saat ini sangat baik, saya juga punya partner kerja yang oke banget untuk dijadikan acuan belajar.  Meskipun terkadang ada kalanya saya merasa frustasi meneruskan belajar bahasa Jepang, saya tidak mengerti, saya tetap ngotot belajar bahasa Jepang, saya tidak bisa meninggalkan bidang ini.  Saya rindu.  Saya merasa bahagia saat saya bercengkrama dengan para staff Jepang saya di kantor.

Saya tidak dapat menjelaskan persisnya kenapa saya begitu bertahan untuk tetap belajar bahasa Jepang meskipun kadang membuat sedikit stress.

Apakah mungkin Jepang memang cinta pertama dan terakhir saya?  

Komentar

Postingan Populer