The Payphone Box



Aku berjalan terseok-seok setelah berlari dan berjalan cukup jauh dari rumahku.  Ya, untuk kesekian kalinya aku mencoba kabur dari rumah.  Kemarin aku telah mencoba melompati pagar, dan seperti biasa, ayah berhasil menemukanku sebelum aku berhasil kabur. Alhasil, aku diseret kembali masuk bak pesakitan.

Namun, kali ini, berkat ketololan Evan -si penjaga pintu gerbang rumahku yang teledor dan sepertinya sedang terserang diare itu- aku berhasil melenggang keluar gerbang ketika Jane, asisten rumahku, tampak masuk setelah ia bepergian entah darimana.

Aku mencari kotak telepon umum berwarna merah yang pernah kulihat sebelumnya di sekitar lingkungan rumahku.  Ayahku merampas ponselku saat ia mendapatiku masih mencoba menghubungi Matthew, seminggu yang lalu. Ponselku disita olehnya, dan entah kapan aku bisa mendapatkan kembali hak privasiku.

Rasanya terlalu menyesakkan jika tetap berada di rumah itu.  Aku nyaris gila.  Aku tidak dapat menebak apa yang diinginkan ayahku.  Kalau ia berhak menikahi wanita yang dua puluh lima tahun lebih muda darinya, kenapa aku tidak diperbolehkan hidup bersama pria yang dua puluh tahun lebih tua dariku?  Lagipula, untuk apa aku tetap berada di penjara itu.  Toh, dia seringkali mengabaikan keberadaanku, mengundang para wanita jalang berumur sekitar dua puluhan itu masuk rumah, dan, kalau habis kesabarannya,  maka ia dengan bebas menyakitiku meskipun setelahnya ia meminta maaf. Keberadaanku tak lebih dari boneka mainan.

Jika aku bersama Matthew, aku tahu ia dapat membahagiakanku.  Ia takkan pernah menyakitiku.  Matthew, sosok pria dewasa yang pertama kali kutemui empat tahun silam di sekolah menengah atas.  Ia mantan guruku.

Aku harus menghubunginya hari ini juga!  Sebelum ayah mengutus Evan, ataupun John untuk mencariku.  Sebelum mereka menyadari bahwa aku telah pergi dari rumah itu.  Matthew harus membawaku hari ini ke tempatnya.

Dimana? Dimana benda itu.  Aku bersumpah sebelumnya aku pernah melewatinya, saat John menjemputku sepulang sekolah.  Atau mungkin aku melupakan letaknya? Aku mengerang dan memaki pelan, namun kemudian aku terus berjalan lagi, sampai akhirnya aku dapat melihat kotak telepon berwarna merah itu.

Aku menyambar gagang telepon dengan gerakan cepat.  Mengeluarkan beberapa buah koin dari dalam kantung koinku, kemudian memutar sebuah nomor telepon yang kuhapal di luar kepala.  Sebelumnya, aku biasa menghubunginya via fasilitas chat, ataupun nomor ponsel pribadi.  Tapi, tentu saja aku hapal betul deretan angka telepon rumahnya.

"Ha, halo" sapaku gugup dan tergesa saat telepon diangkat.  Kerinduanku membuncah.

"Ya, dengan kediaman keluarga Shamus di sini. Dengan siapa saya bicara?" Deg! Suara wanita dewasa.  Aku tak menjawab.  Jantungku bergemuruh.  Kemana Matthew? Kenapa wanita sialan ini yang mengangkat telepon?

"Bisa saya bicara dengan Mr.Matthew?"tanyaku perlahan.

"Maaf, tapi dia sedang pergi saat ini, ada yang bisa saya bantu?" Aku lebih penasaran dengan wanita ini.  Siapa wanita ini?  Saudara perempuannya?

"Maaf, kalau boleh tahu dengan siapa saya berbicara?" Aku tahu pertanyaan ini seharusnya dilontarkan oleh orang yang ada di seberang sana, tapi aku terlalu penasaran untuk mengetahui siapa gerangan wanita ini.

"Saya istrinya" Lututku lemas.  Jawaban yang paling tidak kuharapkan meluncur mulus dari mulut wanita di seberang sana.

"Halo, dengan siapa ini?"  Aku tak menjawab.

"Halo?"  Aku tetap tak menjawab.  Beberapa detik kemudian telepon diputus.

Matthew...telah menikah?


Komentar

Postingan Populer