Kapan dan Kenapa Resign



Suatu sore, saat saya sudah sangat lelah berkeliling genba untuk menerjemahkan para tamu Jepang, membantu mereka dalam penyelesaian proyek perbaikan masalah di proses dan penanganan claim, saya mencuri waktu untuk beristirahat di sebuah kursi yang saya bajak dari seorang operator.  Kemudian, saya berbincang sesaat dengan seorang section chief .

“ Mbak emang mbak masuk ke perusahaan ini sejak kapan sih?” tanya section chief itu, di sela istirahat kami saat sedang menunggu para Jepang yang sedang sibuk berdiskusi.

 “ Hmm, saya masuk sejak November 2012 Pak, Maret ini terhitung dua tahun 4 bulan” jawabku, sambil mencorat-coret notes.

“ Oh.. boleh tahu gak berapa gajinya..?” tanyanya lagi, kepo.  Aku kurang paham apakah masyarakat kita memang terbiasa menanyakan gaji seseorang?

“ Wah saya gak bisa sebut, Pak ahaha” kataku mengelak.  Ya lagian sih, seumur hidup saya gak pernah tuh kepo sama gaji orang.

“ Sepertinya besar sekali ya..” katanya.  Aku hanya menimpalinya dengan meringis dan cengiran bodoh.  Kalau besar sekali harusnya saya sudah sanggup membeli Alphard, sih.

“ Hoo..dulu kamu masuk ke sini berenam ya Mbak, tapi 4 orang teman kamu lainnya uda resign ya? haha”

  Heuheu iya Pak” aku nyengir lagi.

“ Kamu belom ada rencana resign?”

Nah! Datang juga pertanyaan itu.   

Saya yakin sebenarnya banyak perkiraan dari orang-orang di sekitar saya menyangkut masalah kapan saya resign, mengingat empat orang sekretaris telah berhenti dari perusahaan ini secara berturut-turut.  Kalau ditanya ada rencana resign atau tidak, dalam hati saya akan menjawab ‘ada’.  Tapi, alasannya gak penting, dan kalau saya melontarkan alasan-alasan konyol itu agar diperbolehkan resign, yang ada nantinya saya akan dianggap tidak kredibel *kemudian brb cari arti kata kredibel di kamus*.   

Terus kalau ditanya kapan resign, saya gak tau. Maunya secepatnya, tapi ya itu, mentok lagi di masalah alasan.  Gak ada alasan yang terdengar elit yang sanggup kulontarkan!  Orang mungkin resign dengan alasan ‘Suami melarang saya bekerja’, “saya mau fokus ke pernikahan saya, saya rasa saya mau jadi ibu rumah tangga saja’ “saya dapat beasiswa’, ‘saya hendak melanjutkan sekolah ke luar negeri’.  Sedangkan saya?  Saya tidak mungkin berbohong melontarkan alasan-alasan yang memang tidak saya alami itu. Saya tidak mungkin bicara bohong pada perusahaan yang telah banyak memberikan berbagai hal manis, dan menyenangkan kepada saya.  Dan lagi, kalau saya melontarkan alasan-alasan bohong tersebut, bisa-bisa ditanya bos Jepang saya ‘Andanya bicara bohong-kah?’.  Saya mau jawab apa?

Sebenarnya apa sih alasan saya mau resign.  Bermasalah dengan atasan?  Punya teman sejawat yang suka dengki?  Sering dimarahi bos?  Gaji kelewat kecil?
Tidak. Saya tidak mengalami itu.  Sekali lagi saya tekankan saya tidak mengalami itu semua.  Makanya saya bilang, saya gak punya alasan krusial yang memang pantas membuat saya harus keluar dari sana.

Tapi, kalau ditanya kenapa saya mau resign, ya baiklah saya akan sedikit menggambarkan alasan-alasan tidak penting itu. 

1. Capek dan bosan kerja kantoran
Kalau alasan ini kerap timbul tenggelam.  Kadang walaupun capek dan sibuk sekalipun, saya kerap merasa senang karena merasa dibutuhkan.  

 2. Saya bukan orang yang suka tantangan.
Baiklah, mungkin kalau kata beberapa teman saya, mereka merasa kurang tertantang bekerja di perusahaan ini.  Tapi bagi saya jujur saja, saya suka mules kalau disuruh nyemplung ke audit nemenin bule atau orang Singapur yang bahasa inggrisnya gak jelas, kadang suka eneg juga kalau disuruh menceburkan diri ke tv meeting yang materinya gak paham sama sekali.

   3. Saya menjadi wanita tidak baik kalau sudah bersama om-om Jepang itu.
Eits.  Jangan mikir yang enggak-enggak dulu.  Maksudnya bukan jadi wanita simpanan mereka *ih amit-amit nauzubillah #ketok meja*.  Jadi gini, saya itu orang yang posesif, bukan hanya menyangkut benda pribadi, tapi menyangkut bos pun saya juga bisa jadi posesif.  Kalau mereka sedang mengobrol dengan penerjemah lain, saya suka terbakaaar cemburu hahahaha.  Gak terbakar juga sih, mungkin itu bukan cemburu, tapi sirik aja.

     4. Target ketertarikan saya terhadap lawan jenis jadi agak menyimpang.
Jujur, setelah saya masuk perusahaan ini, saya menemukan bahwa bekerja bersama pria berumur tiga puluh lima tahun ke atas itu menyenangkan.  Pake banget.  Mereka manis, kadang manja *manis manja group*, tapi di sisi lain mereka tegas, berkarisma dan punya banyak pengalaman, walaupun kadang menyebalkan.  Mereka juga ekspresif, cerdas dan menarik.  Bekerja bersama mereka, lama-kelamaan membuat saya hanya memandang pria yang berusia matang.    Selama bekerja di perusahaan ini saya juga merasa disayangi dan dimanja mereka, yah setidaknya oleh beberapa orang diantara mereka (meskipun mungkin pada kenyataannya tidak, mungkin saya aja yang geer).  Kasih sayang itu memperparah ‘penyakit’ itu.  Itulah yang saya takutkan.  Saya takut saya hanya bisa jatuh cinta pada om-om.  Saya tahu pandangan saya yang berlebihan terhadap om-om itu tidak adil.  Saya tau, di luar sana pasti banyak sekali pemuda yang sangat bertanggung jawab, bisa diandalkan, menyenangkan dan bermental om-om #eh#, meskipun usia mereka masih sangat muda.  Namun, sayangnya, saya terkungkung di lingkungan pabrik, dimana yang dapat diandalkan dan terlihat berkarisma, ya..hanya om-om itu.

   5.    Impian jadi seorang istri dengan kehidupan menyenangkan, gak mau pergi jam tujuh pulang jam tujuh malam atau lebih.
Ya, impian saya sebenarnya, menjadi istri yang mengerjakan terjemahan di rumah, sambil menulis novel, dan mengurus anak serta suami.  Impian yang sangat sederhana, bukan?  Tapi masalahnya adalah sampai saat ini saya belum menemukan calon suami yang menurut saya tepat, atau sreg di hati.  Apakah itu karena pengaruh poin 4?  Nah, kan jadi kayak lingkaran setan tuh.  Di lain pihak, kalau saya berdalih ‘ingin mengejar passion', misalnya ingin jadi penulis novel, jujur saya belum punya nyali besar untuk hanya mengandalkan passion saya tersebut dalam menghadapi lonjakan harga-harga pokok dan merosotnya nilai rupiah sejak si Joko jadi presiden, huft. 
 Passion saya saat ini sama sekali belum dapat diandalkan untuk menghidupi saya dan keluarga saya. Wong, novel saya aja belom juga tuntas  gara-gara sok sibuk ngantor #plak.

Begitulah sekiranya alasan-alasan kenapa saya ingin resign yang mungkin terdengar konyol.  Di saat orang lain sibuk mengejar karir di suatu perusahaan, atau mungkin pindah ke perusahaan lain demi mengejar jenjang karir, kemapanan dan kesuksesan, saya enggak punya napsu terhadap itu sebenarnya.  Di saat orang lain mengeluh gaji yang kelewat kecil, atau punya atasan yang menyebalkan dan gila, atau mungkin punya partner kerja yang tidak bisa diandalkan, saya tidak mengalami itu.

Karena itu, kalau ditanya ‘Kapan dan kenapa resign?”…, saya harus jawab apa?  Mungkin Anda punya ide bagus?

Komentar

Postingan Populer