Cassanova
Aku mengetik cepat terjemahan yang harus diselesaikan
sebelum makan siang, permintaan dari staff lokal untuk persiapan audit. Ketika hampir sampai pada baris kalimat terakhir, dari sudut
mataku, aku dapat melihat sesosok tinggi besar berjalan mendekati mejaku, tanpa
bicara sepatah katapun, menungguku menoleh ke arahnya. Sebenarnya tanpa aku menoleh pun, aku sudah
sangat mengenali sosok tersebut. Tadinya
aku mau membiarkan dan tidak mempedulikannya, tapi aku menyerah, aku terlalu
penasaran untuk melihat wajah yang selalu membuatku cengar-cengir sendirian
itu.
“ Ya?” tanyaku akhirnya, berusaha menyembunyikan rasa
gugupku. Aku benci sekali dengan kondisi
jantungku yang selalu berdebar berlebihan hanya karena bicara dengan pria
berumur empat puluh tahun ini. Kadang aku
sampai merasa takut jantungku lompat lewat tenggorokan, jika aku harus duduk
tepat di sampingnya, menerjemahkannya di rapat.
Wajah dinginnya itu masih mengamatiku lekat.
“Ada apa Fujishima san? Ada yang bisa saya bantu?”
Normalnya, ketika orang ditanya baik-baik dan sesopan itu,
maka mereka akan menjawab dengan bahasa verbal yang santun pula, kan? Tapi tidak dengan orang ini. Dia mungkin terlalu gengsi dan irit untuk
mengeluarkan kosakata yang layak untuk manusia sepertiku?
Sebagai jawaban atas pertanyaanku tadi, ia hanya
menggerakkan dagunya, dan menunjuk ruang meeting di seberang dengan dagunya
itu. Baiklah, aku menyukainya sekaligus
luar biasa membencinya di saat yang bersamaan.
Aku hanya mengikuti langkah raksasanya menuju ruang meeting itu.
Ketika kami sampai di ruangan itu, beberapa staff lokal
telah menunggu kami. Pria raksasa itu
memilih kursinya. Aku mengikutinya, dan
duduk tepat di sampingnya. Jangan suudzon dulu. Aku duduk
sedekat ini dengannya bukan karena ganjen, tapi, kalau aku terlalu jauh darinya, maka pendengaranku
yang agak bermasalah ini tidak akan bisa menangkap bahasa Jepangnya.
Dia mulai bicara, sementara aku yang amatiran ini dengan
gugup menerjemahkannya setelah kalimatnya selesai. Beberapa
jam kemudian kami menyelesaikan meeting itu, dan ya tentu saja, tanpa berterima
kasih ia melengos dari hadapanku. Aku
kadang bertanya-tanya, apa susahnya sih bersikap lebih baik atau sopan
padaku? Apakah aku semenyebalkan itu? Ya, aku tahu sih, aku memang sering
mengamatinya diam-diam dari balik komputerku, atau tanpa sadar menyeringai
mesum saat mendapatinya muncul di kejauhan.
Emm, yah.., mungkin itu memang sangat mengganggu dan menyebalkan.
Pada pukul tiga sore ia mendekatiku lagi. Kali ini, ada urusan apa lagi? Apakah dia sudi mengeluarkan sepatah kata kepadaku
dari tenggorokannya itu?
“ Tamu saya, Mr. Li, akan datang minggu depan, tolong booking hotelnya, dari tanggal 28-30 Januari”
Wow, dia bicara.
Biasanya, dia terlalu malas bicara padaku, sampai-sampai dia hanya
mengirimkan email saja, meskipun dia hanya duduk di seberang sana.
“ Oke” jawabku, sambil menganggukkan kepala.
Setelah selesai booking hotel, aku mulai berkemas
untuk pulang. Besok kakak sepupuku yang
paling dekat denganku akan menikah, karena itu aku ingin segera pulang cepat
untuk bertemu dengannya dan membantu mempersiapkan pernikahannya.
Pernikahan. Satu hal
yang membuatku kepikiran semenjak kakak sepupuku mengumumkan bahwa ia akan
menikah. Sebagai wanita normal, tentunya
aku memimpikan pernikahan. Namun, sayang
sekali, teman dekat pria pun saat ini aku tidak punya. Ini gara-gara aku terlalu fokus mengurusi
para bayi tua yang berumur rata-rata empat puluh tahunan itu di kantorku.
Dan mungkin…, salah satu faktornya, karena si tuan besar nan
sombong itu terlanjur mengisi hatiku yang kosong ini.
Sesampainya di rumah sepupuku, aku langsung menghampiri Mbak
Hilda, sang calon pengantin, yang baru selesai dilulur untuk persiapan besok.
“ Gimana Mbak, perasaannya, deg-degan?”
“ Hmmm..deg-degan sih, tapi senang”
“ Mba kenapa kamu memutuskankan menikah dengan Mas Ari?”
“ Karena ya aku
merasa nyaman, Ari baik, dan bisa membimbing aku juga, aku juga gak ngerasa
capek kalo sama dia, gak usah takut cemburu tiap hari, tenanglah pokoknya,
kayaknya akan baik-baik aja gitu kalo aku bareng dia”
“ Hoo..” aku manggut-manggut. Kemudian kami lanjut bercerita sampai larut
malam, bernostalgia tentang masa kecil kami, tentang masa depan, tentang cinta.
------------------------------------------------------------------------------
Pernikahan Mbak Hilda yang berlangsung di hari Minggu kemarin, berjalan dengan lancar. Resepsi pernikahan keluarga adalah hal yang menyenangkan. Banyak makanan, kumpul keluarga, seru-seruan. Senang sekali rasanya menghadiri pernikahan yang dapat menghimpun seluruh keluarga dan kerabat. Aku jadi mengenal kerabat-kerabat jauhku.
Setelah kemarin ikut hadir di pesta pernikahan yang menyenangkan, hari ini aku harus kembali bekerja, menghadapi tumpukan kertas yang harus kuterjemahkan, dan menghadapi meeting yang membosankan.
Dentang jam kantor berbunyi. Pukul tujuh tepat. Jam masuk kantorku seperti jam masuk SD, dimulai pada pukul tujuh, dan aku harus susah payah membuat mataku terbuka tiap pagi. Setiap pagi, mengalun lagu senam kesegaran jasmani 96, dan setiap hari Rabu kami akan senam bersama dan melaksanakan apel pagi sebelum memulai pekerjaan. Aku setengah berlari ke arah lapangan, takut terlambat ikut apel pagi.
Dia. Pria dengan tubuh menjulang itu tampak sedang meregangkan otot-ototnya. Saat aku berlari ke arah barisan, dia menatapku, masih sambil meregangkan otot bahunya. Ia kemudian sedikit membungkuk, meletakkan tangan besarnya di lututnya, melakukan stretching pada otot kakinya, mendongak ke arahku dengan wajah seksinya, menusukku dengan mata tajam dan feromonnya. Setelah itu, ia kembali menegakkan badannya, lalu menyisir rambutnya dengan
jari.
Tanpa
dia berbuat seperti itu pun, aku tahu dia tampan. Dia tidak perlu bertingkah seperti itu untuk
membuatku semakin tergila-gila padanya, karena pada dasarnya aku sudah jatuh hati pada semua
elemen duniawi yang ada pada dirinya. Hanya ada dua hal paling penting yang perlu ia
lakukan, yaitu pertama, beriman kepada penciptanya, kedua, memperbaiki prilakunya yang
agak congkak itu.
Apel pagi selesai. Aku berjalan masuk ke lobi kantor, seraya mengobrol dengan Fania. Tapi, yang kudapati malah sosok Fujishima san lagi, yang kali ini sedang berbicara sambil tertawa-tawa centil dengan resepsionis kantor berwajah manis itu. Aku meringis. Fujishima san berbalik ke arahku, kemudian menatapku. Aku hanya tersenyum kecut.
Duhai, Cassanova-ku. Kau memang bukan untukku. Dan aku bukan untukmu. Aku pantas mendapatkan yang lebih baik darimu.
Saachii
14 Februari 2015
Komentar
Posting Komentar