Kasih Ibu Sepanjang Jalan, Kasih Anak Sepanjang Galah

Suatu sore, sepulang dari shopping center di kawasan Cilandak, saya dan ibu saya, menumpang sebuah angkutan umum untuk pulang ke rumah.

Saat perjalanan pulang, sembari mengamati jalan dari dalam angkot itu, kami bercengkrama.
Berdiskusi tentang novel yang telah selesai saya baca, bercerita tentang teman-teman dekat saya, tentang teori konspirasi dan lain-lain. Ibu saya memang orang yang cukup memiliki pengetahuan umum luas dan asyik diajak tukar pikiran.

Tiba-tiba, ibu yang duduk di depan kami menyapa kami,

" Dek, Umi, maaf, kalian ibu dan anak?"

Meski agak bingung karena tiba-tiba disapa begitu, saya menjawab seraya tersenyum,

" Iya, Bu"

" Oh, Alhamdullillah yah, akrab banget" jawabnya, kami hanya tertawa renyah. Dia kemudian melanjutkan,

" Kalo anak saya, gak mau jalan saya sama saya.." saya mengerutkan kening, menunggu ibu itu melanjutkan kata-katanya.

" Kalau pergi kemana-mana, dia gak mau saya temenin, kalau jalan berdua, dia jauh-jauh dari saya, 'bilang ibu gak usah ikut!, mungkin karena saya hitam, jelek, gak modis kali yah, kami memang beda sekali, anak saya itu putih, agak sipit. Kalau kakaknya sih sayang sama saya, tapi kalau yang kedua kurang terbuka gitu sama saya'" lanjut ibu itu tampak terluka.

" Tapi, ngeliat Umi dan Adik ngobrol berdua akrab seperti ini saya senang sekali ngeliatnya" saya sedih mendengar cerita ibu itu.

" Ibu darimana?" Ibu saya bertanya padanya.

" Ini dari komplek marinir, saya dulu pernah kerja sama orang di sana, bantu-bantu, nyetrika, masak, tadi pagi saya nelpon, minta bantuan dana, terus saya disuruh dateng. Pas pulang dikasih beras, sama bahan makanan, Alhamdulillah, nih saya dapet kripik singkong, teh, beras 2kg" ibu itu dengan antusias memperlihatkan bawaannya pada kami.

" Dulu saya kerja sama orang itu, Umi juga kalo butuh tenaga, Insya Allah saya bisa"

" Tadi itu untuk minta bantuan anak saya yang kedua sekolah, ayahnya sudah meninggal, jadi saya sendirian mengasuh mereka, makanya saya mau kerja apa aja, itu anak saya duduk di depan, umurnya 11 tahun, dia gak mau duduk ama saya" katanya seraya tertawa pahit. Saya sedikit melongok ke bangku depan samping supir, seorang anak perempuan yang sepertinya putih bersih, kenapa dia mesti duduk di depan padahal angkot tersebut cukup kosong.
Saya hanya bisa mencoba menghibur sang ibu.

" Anak ibu masih termasuk anak-anak, seiring dia tumbuh dewasa pasti dia ngerti, sekarang dia masih labil, jadi secara mental belum matang, kalau dia sudah agak dewasa pasti dia ngerti perjuangan ibu, terus do'akan aja, Bu, semoga hatinya dilembutkan"

Bukankah ironis, Kawan? Ibu kita membela kita mati-matian untuk hidup kita, tetapi kita malah menyia-nyiakan mereka, bahkan malu mengakui mereka. Seperti apa pun rupa ibu kita, mereka-lah yang melahirkan kita, merekalah yang merawat kita, merekalah yang memperjuangkan hidup kita.

Semoga si anak suatu saat akan menyadari, betapa penting dan berharganya sosok ibu dalam hidup. Hargai, cintai dan perlakukan ibu kita dengan baik. お母さんを大事にして!

Komentar

  1. aaaahhhh~ T^T
    sangat menyentuh... menusuk...
    insya Allah, sampe kapan pun, saya akan selalu memperlakukan mama saya dengan penuh cinta juga, sebagaimana saya diperlakukan begitu olehnya...

    *lagiwaras

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer